Penyakit Covid-19, yang dipicu virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2, menimbulkan dampak beragam pada industri manufaktur. Tidak sedikit industri yang terancam karena dampak terputusnya rantai dagang antara Indonesia dan China. Padahal, industri manufaktur nasional banyak membutuhkan pasokan bahan baku dan penolong dari China.
Penyakit yang kini sudah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ini tentu memicu kegelisahan para pelakunya. Ichwanoel (40), misalnya. Pekerja di sebuah pabrik onderdil kendaraan di kawasan Cakung, Jakarta Timur, beberapa kali mendengar isu pengurangan gaji sejak beberapa bulan lalu walau kenyataannya belum terjadi.
Namun, kini bapak dua anak tersebut mengaku cukup lega mengetahui pemerintah sudah mau turun tangan untuk membantu keuangan perusahaan manufaktur. Rabu (11/3/2020), pemerintah pusat mengadakan rapat koordinasi di Jakarta yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Dalam rapat itu, pemerintah salah satunya memutuskan untuk menanggung Pajak Penghasilan (PPh) 21 karyawan yang bekerja di sektor manufaktur sehingga mereka menerima gaji penuh tanpa potongan pajak. Stimulus itu akan berlangsung selama enam bulan ke depan guna meningkatkan daya beli.
Lalu, apa yang akan direncanakan Ichwanoel jika gajinya utuh? Ia mengatakan akan mengutamakan membayar utang produktif terlebih dulu, seperti kredit sepeda motor dan sewa kontrakan.
”Kalau cicilan utang berkurang kan hidup tenang. Sisanya ditabung dan dibelanjakan untuk keperluan Lebaran besok. Kalau rezekinya masih lebih mungkin saya dan keluarga akan pulang kampung,” tuturnya kepada Kompas, Kamis (12/3/2020).
Kalau cicilan utang berkurang kan hidup tenang. Sisanya ditabung dan dibelanjakan untuk keperluan Lebaran besok.
Pendapat sama juga diungkapkan Taufik Noor (28). Pekerja pabrik baja tersebut mengatakan, jika ada pendapatan lebih, ia cenderung akan menyisihkan uang tersebut ke tabungan. ”Untuk dana darurat kalau suatu waktu kena PHK,” katanya yang mengaku sudah khawatir dengan nasib di pekerjaannya tersebut, bahkan sebelum ada isu korona.
Baca juga: Industri Terpukul Covid-19
Setali tiga uang, Adhi Winata (36), manajer di salah satu perusahaan manufaktur barang cepat habis (fast moving consumer goods), juga memilih untuk membayar cicilan utang dan berinvestasi di properti, deposito, atau membeli kembali saham-saham yang tengah anjlok saat ini.
”Kalau untuk konsumsi, seperti traveling, mungkin nanti dulu. Hari gini juga susah (bepergian) karena pandemi ini. Kalau dapat utuh, lumayan untuk menabung,” tuturnya.
Potongan pajak penghasilan didasarkan pada beberapa golongan penghasilan. Tarif PPh untuk seorang yang memiliki penghasilan tahunan sampai Rp 50 juta berdasarkan Pasal 17 UU PPh dikenai sebesar 5 persen.
Untuk yang berpenghasilan Rp 50 juta-Rp 250 juta, PPh dikenai sebesar 15 persen. Adapun penghasilan Rp 250 juta-Rp 500 juta, tarif pajaknya 25 persen. Lalu, penghasilan di atas Rp 500 juta dikenai tarif pajak 30 persen.
Kontrol harga barang
Asosiasi pekerja atau buruh mengapresiasi kebijakan pemerintah tersebut. Namun, di sisi lain, mereka meminta pemerintah agar mengontrol harga barang konsumsi dan jasa yang naik. Kenaikan tersebut antara lain juga ditengarai wabah Covid-19.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, saat dihubungi Kompas, mengapresiasi kebijakan penghapusan PPh 21 tersebut karena akan meningkatkan daya beli pekerja.
Dampak dari wabah penyakit pandemi ini, menurut laporan yang diterima, menurunkan pendapatan pekerja sampai 40 persen. Penurunan itu antara lain dirasakan oleh pekerja di sektor garmen, tekstil, penerbangan, pariwisata, komponen elektronik di wilayah seperti Bali, Batam, Jakarta, Medan, dan Surabaya.
Penurunan pendapatan pekerja akibat para buruh dirumahkan, misal hilangnya tunjangan transportasi, kehadiran, tunjangan lainnya, serta pemotongan gaji, berlaku di beberapa perusahaan. Kondisi itu terjadi sejak satu minggu diumumkannya ada penderita Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia dan menurunnya hasil produksi perusahaan akibat berkurangnya bahan mentah manufaktur hingga minimnya kedatangan turis.
Baca juga: Pajak Industri Dilonggarkan
Oleh karena itu, Said berpendapat, pemerintah juga perlu menghitung kembali apakah hilangnya nilai PPh 21 yang masuk ke kas negara seimbang dengan penambahan nilai daya beli para pekerja yang gajinya berkurang.
”Perlu diperhatikan harga-harga beberapa barang kebutuhan pokok di pasaran yang mulai meningkat, seperti harga minyak goreng, gula, dan telur. Dengan demikian, nilai potongan pajak tersebut tidak akan tergerus oleh inflasi harga barang,” ujarnya.
Pemerintah juga perlu menghitung kembali apakah hilangnya nilai PPh 21 yang masuk ke kas negara seimbang dengan penambahan nilai daya beli para pekerja yang gajinya berkurang.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia Khamid Istakhori, yang dihubungi terpisah, berpendapat, pemerintah bisa berbuat lebih banyak dalam kondisi saat ini, termasuk untuk memperbaiki fasilitas dan kemudahan mengakses fasilitas kesehatan, serta layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Kondisi di lapangan, banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),” katanya.
KOMPAS, Jumat, 14032020 Hal. 13.