INDONESIA 2045: Visi Jadi Negara Maju Butuh Langkah Berkesinambungan

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan program pembangunan yang berkesinambungan untuk mencapai target menjadi negara maju tahun 2045. Sistem dan kesepakatan nasional harus dibangun agar program yang dicanangkan di awal tetap bisa berjalan meski presiden, menteri, atau kepala daerah silih berganti 25 tahun ke depan.

“Kalau tiap lima tahun ganti kebijakan dan ganti program, tentu akan sulit untuk mencapai visi Indonesia maju 2045,” kata Ekonom senior Core Indonesia, Hendri Saparini dalam Diskusi Panel bertajuk “Membangun Basis Pertumbuhan Berkelanjutan Menuju Indonesia 2045” yang digelar harian Kompas di Jakarta, Kamis (12/3) di Jakarta.

Menurut Hendri, agar kebijakan tidak berubah-ubah setiap ganti presiden atau ganti menteri, butuh kesepakatan pembangunan nasional 25 tahun menuju 2045. Institusi pemerintahan yang kuat menjadi kunci. Selain itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dan kemauan politik kuat untuk mewujudkan visi jauh ke depan, bukan visi sepanjang masa jabatan.

Faktor lain yang juga dinilai penting adalah soal penguasaan teknologi dan peningkatan mutu sumber daya manusia. Bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2028 sampai 2031 harus dijadikan modal mewujudkan cita-cita.

Hadir pula sejumlah narasumber dalam diskusi itu, yakni staf pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim, Menteri Keuangan 2013-2014 Muhamad Chatib Basri, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2016-2019 Ignasius Jonan, Menteri Komunikasi dan Informatika 2014-2019 Rudiantara, dan Rektor IPB University Arif Satria.

Terkait visi, menurut Arif, harus ada transformasi dari pendekatan aktor (sosok/pemimpin) ke pendekatan sistem dalam sebuah institusi pemerintahan. Ia mencontohkan Jepang yang kerap berganti perdana menteri atau pejabat setingkat menteri dalam waktu relatif singkat. Namun, tak ada guncangan besar yang timbul akibat pergantian tersebut.

“Sebabnya apa? Itu karena sistem mereka sudah mapan. Sedangkan di Indonesia masih menggunakan pendekatan aktor, bukan sistem. Semua bergantung pada presiden, menteri, gubernur, atau bupati yang menjabat,” kata Arif.

Indonesia masih menggunakan pendekatan aktor, seperti presiden, menteri, gubernur, atau bupati, bukan sistem.

Di sisi lain, sistem pemerintahan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari birokrasi yang kompleks dan perizinan yang bertele-tele. Koordinasi yang lemah antara kelembagaan di pusat dan daerah masih jadi kendala mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal.

Usaha untuk mewujudkan reformasi birokrasi pun tak mudah karena banyak variabel yang harus dilibatkan. “Misalnya, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) mau mewujudkan reformasi investasi, tapi keputusannya ada di banyak kementerian dan lembaga. Investasi Rp 100 miliar, misalnya, bisa selesai dalam 3 jam di BKPM. Apa mereka langsung bisa mendirikan pabrik? Belum tentu karena keputusan ada di daerah,” ujar Chatib.

Penguasaan teknologi

Hal lain yang tak kalah penting mewujudkan cita-cita Indonesia maju di 2045 adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Sayangnya, menurut Emil, kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh tertinggal. Dari 70 negara yang diteliti Programme for International Student Assesment (PISA) pada 2015 dan 2018 dalam hal literasi, Indonesia menduduki peringkat 62 atau tergolong rendah.

“Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih tertinggal yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Bagaimana cara menaikkan produktivitas? Caranya lewat pendidikan. Anak-anak muda Indonesia, seperti halnya China di masa lalu, bisa dikirim ke luar negeri untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju,” kata Emil.

Pemanfaatan teknologi digital, menurut Rudiantara, bisa menjadi salah satu jalan menaikkan produktivitas tersebut. Apalagi, mulai sekarang dan di masa mendatang, teknologi semakin vital dalam berbagai sendi kehidupan, seperti pemanfaatan big data, komputasi awan, maupun kecerdasan buatan. Sampai 2030, Indonesia setidaknya memerlukan 9 juta orang yang memiliki bakat digital (digital talent).

“Peran pemerintah adalah bagaimana proses (pemanfaatan teknologi digital) tersebut bisa dipercepat. Masalah-masalah perizinan, misalnya, harus bisa dipercepat dengan teknologi digital,” ujar Rudiantara.

Di sektor industri migas, Jonan mencontohkan bagaimana peran teknologi dalam menjalankan bisnis mereka. Sebelum diambil alih ExxonMobil (perusahaan migas Amerika Serikat), selama puluhan tahun Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, Jawa Tengah, tak ditemukan cadangan minyak yang besar. Namun, sejak dioperatori oleh ExxonMobil, Blok Cepu menjadi blok penghasil minyak mentah terbesar di Indonesia saat ini dengan produksi 225.000 barel per hari.

“Begitu pula Blok Sakakemang (Repsol, Spanyol) di Sumatera Selatan yang menyimpan cadangan gas bumi 2 triliun kaki kubik (TCF). Insinyur yang menemukan minyak di Cepu dan gas di Sakakemang adalah insinyur Indonesia. Namun, kenapa saat mereka bekerja untuk perusahaan sebelumnya tidak menemukan apapun. Baru kemudian saat dikelola perusahaan asing ditemukan cadangan yang sangat besar,” kata Jonan.

KOMPAS, Jum’at, 13032020 Hal. 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.