DAMPAK WABAH COVID-19: Penerbangan dan Covid-19

“Masalah serius berskala global hanya bisa diatasi ketika para pemangku kepentingan dapat mencapai kesepakatan bersama melalui dialog dan interaksi, atas dasar rasa saling percaya”.

Demikian Klaus Schwab (2015), pendiri World Economic Forum. Pernyataan Schwab lima tahun lalu ternyata relevan dengan situasi global saat ini yang terdampak oleh wabah Covid-19 dari Wuhan, Hubei, China.

Kasus epidemi virus korona boleh jadi membangkitkan memori kita akan film Contagion, film bergenre thriller yang dirilis 2011, mengisahkan satu wabah penyakit menular sangat mematikan. Virus menyebar cepat ke seluruh dunia tanpa diketahui penyebab dan penawarnya.

Banyak kota jadi sepi mencekam bak kota hantu. Perkantoran, toko, mal, dan restoran banyak yang tutup. Korban jiwa terus bertambah, hingga akhirnya vaksin penawar berhasil ditemukan berkat upaya keras para dokter peneliti, dan situasi mulai membaik.

Dampak cukup serius

Industri penerbangan nasional kembali menghadapi situasi sulit. Belum lama ‘sembuh’ dari hantaman dampak perang dagang AS-China, kini datang lagi kasus epidemi Covid-19 dari China. Sebelumnya, dampak perang dagang telah melejitkan biaya operasional penerbangan,  akibat turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, yang kemudian menimbulkan polemik panjang mahalnya harga tiket pesawat.

Industri penerbangan nasional kembali menghadapi situasi sulit.

Kasus korona merebak, sementara hubungan ekonomi RI-China telah cukup intensif, baik dari sisi investasi, ekspor/impor, maupun pariwisata. China merupakan investor asing terbesar ketiga di Indonesia setelah Singapura dan Jepang. Selain itu, China menjadi mitra dagang utama sejak 2013, dan juga pemasok turis terbesar ketiga setelah Malaysia dan Singapura. Maka, karuan saja dampak wabah korona cukup telak membuat sektor/industri terkait kelimpungan, khususnya penerbangan dan pariwisata.

Penghentian penerbangan ini diperkirakan akan menyebabkan frekuensi terbang maskapai nasional ke luar negeri anjlok 11,8 persen. International Civil Aviation Organization (ICAO) memperkirakan dampak wabah korona akan membuat bisnis penerbangan dunia kehilangan pendapatan 4-5 miliar dollar AS.

Garuda menghentikan operasi penerbangan ke China per 5 Februari, 2020 dan harus mengembalikan (refund) tiket yang telah terjual untuk periode 4 Februari-31 Maret, 2020, yakni sebanyak 34.594 pax relasi Beijing, Shanghai dan Guangzhou. Beberapa maskapai nasional lain,  yakni, Citilink, Batik Air, dan Lion Air, bahkan lebih cepat  menghentikan penerbangan dari dan ke China, yakni pada 2 Februari, 2020.

Citilink merugi sekitar Rp 55 miliar, karena harus me-refund pendapatan dari carter charter pesawat periode Februari dan Maret. Sriwijaya Air menghentikan operasi sejak 31 Januari dengan potensi kerugian dari carter pesawat senilai 5 juta dollar AS.

Absennya penumpang (traveler) dari China, menyebabkan tiga bandara internasional, Ngurah Rai, Sam Ratulangi, dan Hang Nadim, bertambah sepi.  Di pelabuhan internasional Batam, jumlah penumpang anjlok 50 persen, terutama di akhir pekan, terdampak isu korona.

Tiga destinasi wisata, Bali, Sulawesi Utara, Batam/Bintan serta-merta menjadi daerah paling terdampak akibat diskoneksi sementara transportasi udara dengan China daratan. Di Bali, sejumlah hotel mengalami pembatalan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) internasional berskala besar. Demikian pula sejumlah obyek wisata dan pedagang cinderamata langganan turis China sepi pengunjung.

Di Manado, tingkat okupansi hotel berbintang anjlok drastis. Di Bintan, beberapa resor dan wahana wisata, termasuk Bintan Black Coral, dan hutan mangrove Kunang-Kunang terpaksa menutup operasi sejak akhir Januari. Selama ini turis China mendominasi spot-spot wisata itu. Akibat selanjutnya, para nelayan pemasok ikan segar ke resor tersebut ikut merugi.

Untuk Bali saja, hotel dan restoran diperkirakan berpotensi kehilangan Rp 2,7 triliun dari turis China selama Januari dan Februari. Dari total turis asing yang berkunjung ke Indonesia 16,1 juta (2019), sebanyak 2,07 juta dari China, dan dari 6,3 juta turis asing ke Bali selama 2019, sebanyak 1,16 juta dari China. Secara nasional, potensi kehilangan devisa pariwisata dalam setahun mencapai Rp 40,7 triliun.

Secara nasional, potensi kehilangan devisa pariwisata dalam setahun mencapai Rp 40,7 triliun.

“Indonesia Incorporated”

Baru lima hari penerbangan dari/ke China ditutup, dua unit bisnis olahraga air di Tanjung Benoa, Badung, sudah merumahkan (PHK) ratusan karyawannya, lantaran sepi pengunjung. Demikian pula beberapa resor dan wahana wisata di Bintan terpaksa merumahkan sebagian karyawannya sejak akhir Januari.

Langkah PHK tentu tak diharapkan menjadi tren dalam merespons kerugian bisnis terdampak oleh kebijakan pencegahan penyebaran virus korona. Semua pemangku kepentingan wajib bahu-membahu, termasuk melalui jurus ‘gotong royong’ sebagai solusi tradisional masyarakat Indonesia dalam rangka meminimalkan dampak penurunan bisnis akibat diskoneksi transportasi udara untuk sementara dengan China terkait Covid-19 serta mencegah PHK industri penerbangan dan pariwisata, terutama oleh maskapai penerbangan dan hotel.

Gotong royong antarpemangku kepentingan dalam wadah Indonesia Incorporated sangat penting. Modal sosial dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan bersama. Budaya gotong royong merupakan satu bentuk modal sosial khas bangsa kita.

Solusi dalam kerangka Indonesia Incorporated ini, sedikit banyak, pasti butuh pengorbanan, baik dari pemerintah maupun badan usaha/pengusaha terkait.  Bahkan bila perlu, solusi melibatkan pekerja industri penerbangan dan pariwisata melalui asosiasinya.

Dari sisi pemerintah, beberapa langkah kebijakan dapat meliputi relaksasi pendapatan negara bukan pajak (PNBP), peningkatan kegiatan MICE pemerintah di Bali, Bintan, dan Manado, serta memfasilitasi ekspansi/diversifikasi pasar penerbangan internasional ke negara non-China atau memaksimalkan rute-rute lain untuk mengalihkan slot penerbangan yang kosong akibat tak lagi terbang ke China.

Relaksasi PNBP  antara lain dapat berupa pemangkasan landing fee dan Passenger Service Charge (PSC), serta diskon tarif sewa ruangan perkantoran operator bandara. Pemerintah perlu memperbanyak kegiatan MICE, khususnya lintas kementerian, di hotel-hotel yang terdampak pembatalan kegiatan MICE terkait isu korona.

Pihak maskapai pun perlu memberikan insentif berupa diskon yang menarik ke Bali, Manado, dan Bintan, setidaknya untuk dua bulan ke depan. Demikian pula hotel-hotel dan agen tours/travel yang selama ini didominasi turis China, perlu memberikan diskon besar , dan paket wisata murah beserta jaminan bahwa hotel sudah disterilkan dari kemungkinan ‘jejak’ virus korona.

(Wihana Kirana Jaya Guru Besar FEB-UGM dan Staf Khusus Menteri Perhubungan)

KOMPAS, 04032020 Hal. 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.