RUU CIPTA KERJA: RUU Cipta Kerja Pangkas Peran Daerah di Sektor Energi

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai memangkas peran pemerintah daerah di sektor energi dan sumber daya mineral. Pemangkasan itu diharapkan mengatasi hambatan perizinan dan mendongkrak investasi. Namun, hal itu dinilai kontradiktif dalam konteks otonomi.

Ada setidaknya empat undang-undang (UU) sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) yang akan direvisi dalam RUU Cipta Kerja. Keempat UU itu adalah tentang pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, panas bumi, dan ketenagalistrikan. Pada saat yang sama proses revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sedang berlangsung di DPR.

Soal pertambangan mineral dan batubara, RUU Cipta Kerja memuat pasal bahwa pemerintah daerah tidak lagi berwenang dalam penerbitan perizinan. Seluruh kewenangan perizinan ditarik ke pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah dapat memperpanjang izin usaha tambang yang telah habis masa kontraknya tanpa mekanisme lelang.

Sementara untuk minyak dan gas bumi, hal yang dinilai menonjol dalam RUU Cipta Kerja adalah rencana pembentukan badan usaha milik negara khusus (BUMN Khusus) sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Saat ini pelaksananya yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Dengan demikian, jika BUMN Khusus sudah terbentuk, kontrak kegiatan hulu migas tak lagi di tangan SKK Migas.

Pada subsektor ketenagalistrikan, penyediaan tenaga listrik dikuasai negara yang penyelenggaraannya dilakukan pemerintah pusat melalui BUMN. Artinya, peran pemerintah daerah dihapus dalam hal penyediaan tenaga listrik. Namun, pemerintah daerah melalui badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha swasta disebutkan hanya dapat berpartisipasi dalam hal penyediaan tenaga listrik.

Adapun soal panas bumi, sama dengan subsektor lain di atas, penyelenggaraannya dilakukan pemerintah pusat dengan menghapus peran daerah. Proses perizinan, pengawasan, pengelolaan data dan informasi, serta inventarisasi sumber daya panas bumi, yang sebelumnya dilakukan pemerintah daerah, dihapuskan dan dilimpahkan kepada pemerintah pusat.

Penyederhanaan izin

Menurut Kepala Biro Hukum pada Kementerian ESDM Hufron Asrofi, semangat RUU Cipta Kerja di sektor energi adalah penyederhanaan perizinan. Izin yang tumpang tindih atau mirip disatukan dalam satu izin. Selain itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan nilai tambah untuk komoditas energi di dalam negeri.

”Hilirisasi juga jadi perhatian. Pemegang izin usaha pertambangan yang diberi amanat hilirisasi diberi jaminan perpanjangan operasi untuk kecukupan bahan baku,” kata Hufron saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/2/2020).

Penyederhanaan izin dengan mencabut wewenang daerah kontradiktif dengan usaha memperkuat daerah dalam konteks otonomi.

Terkait pencabutan wewenang daerah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah berpendapat, hal itu disebabkan oleh anggapan bahwa pemerintah daerah mempersulit investasi. Masalah kapasitas dan kesiapan daerah dalam pelayanan perizinan adalah salah satu contohnya.

Masalah lainnya yaitu pungutan liar atau praktik korupsi dalam pengurusan perizinan.”Akan tetapi, usaha penyederhanaan perizinan dengan mencabut wewenang daerah kontradiktif dengan usaha memperkuat daerah dalam konteks otonomi,” ujarnya.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam catatannya, terkait mineral batubara dalam RUU Cipta Kerja, menyatakan, pemerintah perlu memastikan apakah kewenangan pemerintah daerah yang dicabut termasuk kewenangan memungut royalti atau pajak. Sebab, hal itu akan merugikan daerah yang pendapatan aslinya sangat bergantung pada pertambangan mineral, seperti Timika. Bagi pelaku usaha, rumitnya perizinan menjadi masalah. Wakil Ketua Umum Bidang Energi, Minyak, dan Gas pada Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bobby Gafur Umar menyatakan, banyaknya perizinan memperumit investor. Saat ada investor datang ke suatu daerah untuk membebaskan lahan, misalnya, banyak izin yang harus diurus, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengakui, banyaknya perizinan yang harus diurus menjadi salah satu hambatan bagi investasi hulu migas di Indonesia. Ia menekankan perlunya percepatan pengurusan izin. Sepanjang 2019, Kementerian ESDM mencabut 186 perizinan karena dianggap menghambat investasi.

Kedaulatan energi

RUU Cipta Kerja dinilai memberi insentif, fasilitas, dan kebebasan bagi pelaku usaha sektor ESDM. Sejumlah pasal berpotensi mencederai kedaulatan energi serta bisa memberi beban untuk negara dan rakyat.

RUU itu memuat penarikan kewenangan perizinan pertambangan dari daerah ke pusat. Hal itu diatur dalam Pasal 40 Ayat 3 RUU Cipta yang mengubah Pasal 6 dan 7 dalam UU No 4/2009 tentang Mineral Batubara (Minerba).

 

Kedua pasal itu sebelumnya mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan minerba. Beberapa di antaranya pemberian izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, pengawasan usaha pertambangan dan operasi produksi di wilayah kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang.

Seiring sentralisasi perizinan dan pengolahan pertambangan, pemerintah memberikan insentif dan fasilitas bagi para pelaku usaha di sektor energi. Pasal 40 Ayat 25  RUU Cipta Kerja mengatur, pelaku usaha batubara yang melakukan kegiatan pemanfaatan dan pengembangan batubara dapat dikecualikan dari kewajiban memenuhi kebutuhan batubara di dalam negeri atau yang dikenal dengan domestic market obligation (DMO).

Pemerintah sebelumnya beralasan, keringanan DMO diberikan untuk mendorong hilirisasi industri batubara. Maka, perusahaan yang dikecualikan dari kewajiban memenuhi DMO yaitu pengusaha batubara yang akan membangun pabrik. Sementara pengusaha batubara yang tidak membangun pabrik tetap wajib membayar DMO sebesar 25 persen yang berlaku.

Baca juga: Transformasi agar Produktif dan Kompetitif

Peneliti Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/2/2020), mengatakan, penghapusan aturan DMO itu sangat meringankan pengusaha. Selama ini, dengan DMO, pelaku usaha batubara harus menjual batubara dengan harga yang ditetapkan pemerintah yang biasanya lebih murah.

Fahmy mengatakan, dalam jangka panjang, dampak dari pengecualian DMO ini bisa saja berujung pada kenaikan tarif listrik yang membebani masyarakat. Sebab, lebih dari 50 persen sumber energi yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik PLN saat ini berasal dari batubara.

”Saat harga barubara dunia sedang rendah, mungkin ini bukan masalah. Akan tetapi, ketika fluktuasi tinggi, sementara DMO menjadi 0 persen, yang dikhawatirkan harganya bisa sesuka hati, dan akan dibebankan kepada konsumen dengan meningkatkan tarif listrik. Ujung-ujungnya, rakyat juga yang mengemban biaya,” kata Fahmy.

SUMBER: KEMENTERIAN ESDM

Grafis produksi batubara dalam negeri dan kuota pasokan batubara.

Pasal lain yang patut disoroti adalah insentif bagi pelaku usaha yang mendirikan pabrik smelter berupa perpanjangan izin sampai seumur tambang. Pasal 40 ayat 13 dan 24 mengatur, kegiatan operasi produksi yang terintegrasi dengan smelter diberi jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sampai dengan seumur tambang.

Menurut Fahmy, kebijakan pemberian kebebasan itu jika tidak diantisipasi bisa mencederai kedaulatan energi. Kelonggaran perpanjangan izin hingga seumur tambang bisa berarti pengerukan sumber daya energi sebebas mungkin sampai usia tambang habis. Fahmy mengatakan, hal itu mencederai amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

”Ketika investor diberi kebebasan luar biasa dengan potensi keuntungan sedemikian besar, yang dimakmurkan justru investor, bukan rakyat. Padahal, tanpa fasilitas dan insentif yang berlebihan itu, investasi sebenarnya masih sehat. Perbaikan perizinan diperlukan, tetapi seharusnya tidak perlu sampai membebaskan seperti ini dan mencederai kedaulatan energi serta memberi beban bagi rakyat,” tuturnya.

KOMPAS, 24022020 Hal. 13.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.