GAS BUMI: Simalakama Harga Gas Industri

Kalau tak diturunkan, industri mati. Kalau diturunkan, pendapatan negara berkurang. Begitu kira-kira ilustrasi kebijakan penurunan harga gas bumi yang sampai sekarang belum sepenuhnya terealisasi. Ibarat buah simalakama.

Semua berawal dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres itu menyebutkan, jika harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas lebih tinggi dari 6 dollar AS per juta British thermal unit (MMBTU), menteri dapat  menetapkan harga gas tertentu. Peraturan ini adalah bagian dari beberapa paket kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.

Penetapan harga tersebut dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Dari ketujuh sektor yang tercantum dalam Perpres No 40/2016, industri pupuk, petrokimia, dan baja adalah sektor yang sudah menikmati penurunan harga. Sisanya belum dan sedang menunggu janji pemerintah.

Beberapa waktu terakhir, janji realisasi penurunan harga menjadi diskursus publik. Pertanyaannya adalah kenapa begitu perlu waktu lama untuk menurunkan harga gas seperti yang dijanjikan Presiden? Sudah empat tahun berjalan dan belum ada tanda-tanda semuanya bakal tuntas.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Menteri ESDM Arifin Tasrif (kanan) bersama jajarannya saat menyampaikan capaian kinerja 2019 dan program 2020 di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Jangan-jangan, pemerintah dihadapkan pada dilema. Kalau harga gas tak diturunkan, industri dalam negeri dikhawatirkan kalah bersaing atau lebih buruk lagi: sekarat dan mati. Sebaliknya, menurunkan harga gas akan menyebabkan penerimaan negara kian seret di tengah kondisi ekonomi yang masih tertatih-tatih seperti sekarang ini. Dari setiap harga gas di hulu, ada nominal 2,2 dollar AS per MMBTU yang menjadi bagian negara.

Penghapusan bagian negara bakal menghilangkan penerimaan sekitar Rp 53 triliun per tahun. Bukan angka kecil mengingat total penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor minyak dan gas bumi mencapai Rp 115 triliun pada 2019. Artinya, hampir setengah dari PNBP sektor migas bakal hilang. Relakah pemerintah?

Memang, dari perhitungan pemerintah sendiri, kehilangan PNBP Rp 53 triliun akan menaikkan penerimaan pajak dari industri dan turunannya meningkat sebesar Rp 85,84 triliun. Tetapi, itu tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Lagi pula, apa jaminannya akan ada tambahan penerimaan pajak akibat dari pengurangan bagian negara sebesar 2,2 dollar AS per MMBTU itu?

Apabila penerimaan negara berkurang, bagaimana nasib rencana pengembangan infrastruktur gas bumi pada masa mendatang? Apalagi, pemerintah menargetkan 10 juta sambungan gas rumah tangga dalam kurun 5-10 tahun ke depan. Sebuah rencana yang tentu perlu dana yang tak sedikit.

Wajar kalau janji realisasi penurunan harga gas berlarut-larut. Kendati demikian, pemerintah sudah memiliki strategi untuk menurunkan harga gas. Selain mengurangi bagian negara, cara lain adalah memberlakukan kebijakan penetapan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). DMO gas bumi meliputi alokasi dan harga tertentu.

Apabila penerimaan negara berkurang, bagaimana nasib rencana pengembangan infrastruktur gas bumi di masa mendatang?

Begitu pula rencana membebaskan swasta mengimpor gas untuk kebutuhan industri di kawasan yang belum terhubung dengan jaringan infrastruktur gas. Di samping itu, pemerintah berencana mengefisienkan biaya pengangkutan mulai dari hulu sampai hilir. Direncanakan pada Maret nanti realisasi penurunan harga seperti yang tertuang dalam Perpres No 40/2016 terwujud semuanya.

Baca juga : Tiga Opsi Tekan Harga Gas

Toh, kebijakan penurunan harga gas sudah telanjur ada. Wajar sekali apabila sektor industri menagih janji dari kebijakan Presiden tersebut. Apa mau direvisi seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya di sektor energi?

Polemik harga gas ini bisa menjadi pemelajaran bagi pemerintah sendiri. Kebijakan yang dibuat hendaknya sudah melalui proses yang matang dan penuh pertimbangan. Salah kalkulasi akan berujung menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri.

KOMPAS, 18022020 Hal. 13.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.