Presiden Joko Widodo menyebut konsep omnibus law sebagai terobosan untuk mewujudkan visi Indonesia maju 2045. Omnibus law bertujuan menyederhanakan kendala regulasi yang menurunkan daya saing Indonesia.
Presiden Joko Widodo bertekad membawa Indonesia menjadi negara yang menarik bagi investor untuk meningkatkan perekonomian. Penyederhanaan regulasi atau “deregulasi” menjadi salah satu agenda utama pemerintah.
Namun, asumsi deregulasi berkorelasi positif dengan penurunan biaya produksi sehingga menarik bagi investor perlu dikaji komprehensif. Mendiskusikan asumsi deregulasi ini mengingatkan saya pada kolega yang sedang menyusun disertasi model ekonomi investasi.
Kajian pustaka dari ekonom dunia mengonfirmasi asumsi bahwa deregulasi akan menurunkan biaya produksi sehingga lebih kompetitif dalam menarik investor. Namun, ketika proposal model ekonomi investasi ini didiskusikan dengan supervisornya—yang paham betul konteks Indonesia—sang supervisor bertanya, “Benarkah deregulasi akan menurunkan biaya produksi di Indonesia? Indonesia bukan Weberian countries yang perilaku birokratnya selalu berpedoman pada regulasi formal yang prosedural.”
Kenyataannya, para birokrat di Indonesia lebih suka mengelola negara secara informal. Maka, deregulasi melalui omnibus law bisa saja menyederhanakan regulasi formal, tetapi belum tentu menghilangkan kebijakan informal.
Maka, deregulasi melalui omnibus law bisa saja menyederhanakan regulasi formal, tetapi belum tentu menghilangkan kebijakan informal.
Percakapan di ruang akademik antara supervisor dan mahasiswa ini penting dipertimbangkan Pemerintah Indonesia dalam merumuskan kebijakan omnibus law, terutama amdal.
Proses amdal
Penghapusan kewajiban perusahaan menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) menjadi salah satu wacana dalam omnibus law.
Pemerintah beranggapan amdal menghambat investasi. Organisasi lingkungan, Walhi, mengkritik keras wacana penghapusan amdal karena akan mengorbankan aspek lingkungan (Kompas, 26/11/2019).
Baca Juga: Omnibus Law dan Kekhawatiran Buruh
Amdal itu ibarat “rem” dan “dasbor” agar pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan seimbang (Kompas, 27/12/2019). Menghilangkan amdal berarti menghilangkan kendali negara dan hak publik atas keseimbangan lingkungan dan pembangunan.
Dalam konteks ini, pemerintah menyuarakan kepentingan bisnis yang menghadapi banyak kendala dalam penyusunan amdal. Waktu dan biaya untuk pengurusan izin lingkungan ini tidak dapat diprediksi karena ada proses informal di balik regulasi formal.
Aparatur pemerintah, terutama di daerah, menggunakan kewenangan secara informal untuk memfasilitasi atau menghambat izin lingkungan. Berbagai studi menunjukkan bahwa moral hazard aparatur negara ada pada setiap tahap penyusunan amdal (Kompas, 27/12/2019). Proses penyusunan amdal menjadi arena membangun hubungan informal antara aparatur dan perusahaan, bukan sebagai kajian akademik untuk memastikan pengelolaan dampak negatif aktivitas bisnis pada lingkungan.
Hubungan informal yang baik antara aparatur pemerintah dan perusahaan menjadi kunci mendapatkan izin lingkungan. Untuk itu, perlu fasilitas dan biaya. Misalnya, perusahaan menyelenggarakan audiensi penyusunan amdal di kota wisata. Cara-cara informal ini lazim untuk mempercepat proses penyusunan amdal.
Menghilangkan amdal berarti menghilangkan kendali negara dan hak publik atas keseimbangan lingkungan dan pembangunan.
Dengan demikian, berbelit dan panjangnya penyusunan amdal bukan karena substansi regulasi, melainkan kuatnya proses informal yang melekat pada setiap tahap penyusunan amdal. Proses informal memang menjadi penyakit akut hampir di setiap lini pelayanan yang melibatkan negara.
Berenschot & van Klinken (2018) dalam publikasinya yang berjudul “Informality and citizenship: the everyday state in Indonesia” menguatkan indikasi kuatnya praktik-praktik informal dalam pengelolaan negara di Indonesia. Maka, menerapkan deregulasi bukan resep yang tepat karena aparatur negara “nakal” selalu punya cara untuk regulasi informal.
Buka ruang gelap regulasi
Praktik regulasi informal tumbuh karena sistem regulasi Indonesia menganut pendekatan “command and control” . Pendekatan ini memberikan kewenangan penuh kepada aparatur negara untuk mendesain, menerapkan, dan mengawasi setiap regulasi. Ketiga proses regulasi berada di ruang-ruang tertutup yang menyuburkan praktik informal. Maka, membuka ruang-ruang gelap proses regulasi perlu untuk mengikis praktik regulasi informal.
Omnibus law diterapkan bukan sekadar deregulasi, melainkan mengubah cara memperlakukan regulasi. Misalnya dengan public disclosure. Negara mendesain regulasi dan memfasilitasi pihak ketiga (investor, bank, masyarakat, dan LSM) menjadi pengawas regulasi. Perusahaan wajib membuka kinerja lingkungan ke publik.
Saya merekomendasikan amdal tetap ada dengan berbagai modifikasi. Amdal menjadi dokumen dasar untuk monitor dan evaluasi dampak lingkungan unit produksi, bukan syarat pendirian unit produksi. Setiap perusahaan dipersilakan menyusun amdal sebagai kerangka akademik untuk mengelola dampak lingkungan.
Maka, menerapkan deregulasi bukan resep yang tepat karena aparatur negara “nakal” selalu punya cara untuk regulasi informal.
Amdal menentukan layak tidaknya keberadaan unit produksi di suatu wilayah. Setelah dinyatakan layak, amdal menjadi dokumen publik. Siapa pun dapat melihat tata kelola lingkungan yang seharusnya.
Keterbukaan dokumen amdal juga menjadi cara untuk memastikan para akademisi yang menjadi mitra perusahaan menyusun amdal sesuai dengan kaidah akademik. Akademisi “abal-abal” akan tersingkir dengan sistem transparan.
Keterbukaan dokumen amdal dilanjutkan dengan kebijakan keterbukaan kinerja lingkungan perusahaan. Setiap perusahaan wajib membuka data baku mutu lingkungan. Pemerintah bisa membangun sistem aplikasi agar masyarakat mengetahui ketaatan lingkungan perusahaan di sekitarnya.
Dengan sistem yang terbuka, perusahaan yang memiliki komitmen baik terhadap lingkungan lebih memiliki kepastian merencanakan sistem pengelolaan lingkungan.
Tidak ada lagi ruang-ruang tertutup yang menyuburkan praktik-praktik informal di setiap lini proses perizinan. Perusahaan-perusahaan yang “nakal” tidak dapat menyembunyikan kinerja buruk lingkungannya karena kewajiban membuka diri diatur oleh negara. Mereka akan berhadapan dengan investor, bank, konsumen, masyarakat sekitar, dan LSM yang peduli lingkungan.
Amdal menentukan layak tidaknya keberadaan unit produksi di suatu wilayah. Setelah dinyatakan layak, amdal menjadi dokumen publik. Siapa pun dapat melihat tata kelola lingkungan yang seharusnya.
(Bahruddin, Staf Pengajar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol, UGM)
KOMPAS, 31012020 Hal. 7.