INDUSTRI BATU BARA:Hilirisasi Batubara 2020-2025

Sekurang-kurangnya dua kali pada November 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato penting mengenai hilirisasi batubara.

Harian Kompas, Selasa 26 November 2019, memberi ulasan berjudul ”Pertambangan: Janji Hilirisasi” dengan mengupas manfaat hilirisasi. Misalnya, mineral nikel—selama ini diekspor hanya sebagai bahan mentah—diolah menjadi feronikel sehingga bernilai tambah 10 kali atau jika dilanjutkan sebagai stainless steel bernilai tambah 19 kali.

Di sisi lain, hilirisasi oleh pemegang izin usaha pertambangan—meski sifatnya wajib sesuai UU Nomor 4 Tahun 2009—tak benar-benar bisa dijalankan. Aturan turunan dari UU tersebut kenyataannya masih maju-mundur.

Pada acara Indonesia Banking Expo (Rabu, 6/11/2019) media CNBC Indonesia menulis dengan judul ”Jokowi Tak Mau RI Impor LPG & Petrokimia Lagi”. Saat menghadiri Indonesia Mining Award (Rabu, 20/11/2019), Presiden lagi-lagi menekankan bahwa program hilirisasi, salah satunya batubara, akan mampu meredam defisit neraca perdagangan dan defisit neraca berjalan. Bahkan, Presiden menyebut angka tiga tahun sebagai hitungan merampungkan penyakit akut ini.

Memang Badan Pusat Statistik telah mendata dari defisit transaksi berjalan tahun 2018 sebesar 31,1 miliar dollar AS, besarnya sumbangan dari impor energi sudah 29,8 miliar dollar AS atau naik 22,59 persen dibandingkan 2017. Jumlah tersebut seluruhnya berasal dari komponen migas, seperti minyak mentah, BBM, dan LPG.

Pada sisi lain Kamar Dagang dan Industri Indonesia mencermati minimnya investasi sektor petrokimia dalam 20 tahun terakhir. Akibatnya, lebih dari separuh bahan baku petrokimia harus diimpor. Impor metanol dan turunannya, seperti asam asetat, formaldehid, polivinil, poliester, resin sintetis, dan lainya, mencapai angka 12 miliar dollar AS atau setara Rp 174 triliun per tahun.

Pelajaran dari ChinaTanpa investasi di sektor strategis ini, impor bakal terus naik. Jika ekspor komoditas nonmigas atau pendapatan devisa dari sektor lain tak dapat menutup defisit perdagangan, perkara ini bisa menjadi persoalan sistemik.

Jika ekspor komoditas nonmigas atau pendapatan devisa dari sektor lain tak dapat menutup defisit perdagangan, perkara ini bisa menjadi persoalan sistemik.

Prakarsa swasta tak bisa diharapkan tanpa tekad pemerintah dalam hilirisasi batubara. Indonesia, mirip China, memiliki sumber daya batubara besar dan minim cadangan migas, terutama minyak.

Pemerintah China, awal tahun 2000-an, menugaskan satu badan usaha milik negara untuk membuat proyek uji coba dengan membayar miliaran dollar paten pemakaian teknologi pencairan batubara dari Amerika Serikat, menjadi BBM. Tak sepenuhnya mulus, sejumlah kegagalan terjadi, tetapi riset dan pengembangan terus dilakukan hingga berlanjut ke bahan kimia industri.

Meski komando (top-down), program  membuahkan hasil manis. Dalam satu dekade terakhir terjadi berbagai terobosan dan capaian pada skala komersial konversi batubara menjadi gas sintesis, metanol, urea, olefin, diesel, gasolin, dimetil eter (DME, substitusi LPG), dan sebagainya.

China-Coal-Chem pertengahan tahun 2019 melaporkan daftar proyek batubara terbanyak dan terbesar di planet bumi berada di China. Sejumlah 287 proyek hilirisasi batubara yang selesai, direncanakan dan dibangun antara 2019 hingga 2023, menelan investasi di atas RMB 1,6 triliun atau setara 227 miliar dollar AS. Dengan begitu, 30 persen dari 3,8 miliar ton produksi tahunan batubara bakal dikonversi menjadi BBM, substitusi LPG, dan bahan kimia bernilai tambah tinggi.

Di Kompas (1/7/2019), penulis telah menyampaikan bahwa hilirisasi batubara adalah salah satu solusi mengatasi kedaruratan energi (BBM dan LPG) sekaligus mengisi pasokan bahan baku petrokimia dalam negeri tanpa menguras devisa.

Harus diakui, hilirisasi batubara melibatkan teknologi tinggi serta bersifat padat modal. Hingga saat ini hanya perusahaan BUMN dan swasta besar yang mengumumkan rencana investasi. Di antaranya, PT Batubara Bukit Asam (BA), Pertamina, Pupuk Indonesia, Chandra Asri, dan pihak asing Air Products. Kolaborasi ini akan memanfaatkan batubara kalori rendah dan pertengahan. Total investasi bakal mencapai 9 miliar dollar AS di dua lokasi: Riau dan Sumatera Selatan.

Harus diakui, hilirisasi batubara melibatkan teknologi tinggi serta bersifat padat modal. Hingga saat ini hanya perusahaan BUMN dan swasta besar yang mengumumkan rencana investasi.

Dukungan pemerintah

Realisasi industri rintisan tersebut bakal melaju jika pemerintah juga bergegas dalam memberikan dukungan. Untuk itu, perlu dipahami fakta-fakta dasar berikut.

Pertama, program hilirisasi batubara menjadi energi—diesel, gasolin, dan substitusi LPG—sesungguhnya menarik. Meski membutuhkan modal investasi 15 persen lebih besar dibandingkan kilang minyak konvensional, biaya bahan baku dan operasi yang mencakup 35 persen biaya produksi berasal dari dalam negeri.

Di sisi lain besarnya modal, mengacu perhitungan salah satu konsultan tahun 2005 dan penulis mutakhirkan berdasarkan angka-angka investasi di China 2019, mencapai 20 miliar dollar AS. Ini untuk memproduksi 300.000 barel per hari setara BBM dari batubara.

Pemerintah bisa memberikan insentif investasi industri pelopor, seperti tax holiday dan pembebasan bea masuk barang modal dan suku cadang. Hal penting lain adalah kepastian peraturan perundangan untuk melindungi penanaman modal industri energi, terutama dari ancaman pengembalian modal dan pinjaman.

Sebagaimana sifat industri hulu, seperti di China, memiliki tingkat pengembalian modal relatif rendah. Hal ini terlihat pula dari dua proyek milik gabungan BUMN dan swasta yang disebut di muka, tak satu pun memuat target konversi batubara menjadi BBM. Pun rencana produksi DME—andalan  substitusi impor LPG—masih menghadapi perundingan alot dengan Pertamina sebagai pembeli utama.

Kedua, program hilirisasi batubara menjadi bahan kimia industri dapat dilakukan bertahap dan juga sekaligus. Bertahap dalam artian membangun kilang gas sintetis atau metanol dari batubara, sesudahnya menyerahkan kepada pasar untuk menyerap bahan dasar industri kimia menjadi produk-produk turunan lainnya.

Rancangan terpadu

Cara lain ialah menjadikan satu rancangan terpadu berbagai turunan industri kimia dengan bahan dasar metanol atau gas sintesis. Secara bersamaan dibutuhkan pengerahan modal besar-besaran, untuk membentuk rantai industri bersambung hingga dapat memaksimalkan manfaat ekonomi serta nilai tambah komersial.

Berkaca dari hilirisasi nikel, pelibatan pemodal besar menjadi kunci sukses pertama. Selanjutnya, kuatnya pasar industri dalam negeri dan terkaitnya harga komoditas energi dan petrokimia dalam pasar internasional menjadi kunci sukses kedua menarik investasi.

Ketiga, berakhirnya masa kontrak perusahaan-perusahaan besar tambang batubara PKP2B generasi I sejak awal 2019 hingga lima tahun ke depan menyisakan tanda tanya. Hingga sekarang belum ada skema jelas dari pemerintah, apakah menjadikan sebagian atau semua bekas lahan sebagai wilayah pencadangan negara. Bisa saja dicari jalan tengah terbaik antara kepentingan swasta dan publik.

Hingga sekarang belum ada skema jelas dari pemerintah, apakah menjadikan sebagian atau semua bekas lahan sebagai wilayah pencadangan negara.

Oleh karena itu, tindak lanjut pelaksanaan UU No 4 Tahun 2009 sangat penting dan mesti segera jika dikaitkan dengan program hilirisasi. Pemerintah dapat menetapkan jumlah dan harga tetap—dalam jangka panjang—pasokan batubara untuk industri hilirisasi. Kepastian bahan baku memang menjadi kunci sukses ketiga hilirisasi.

Meski ketiga kunci sukses program hilirisasi batubara  dapat dikelola, risiko investasi menghadapi tantangan jika harga produk hilirisasi dihubungkan dengan harga minyak mentah dan gas yang fluktuatif.

Andaikan harga minyak mentah tertekan berkepanjangan ke bawah 40 dollar AS per barel atau gas tak sampai 3 dollar AS per juta british thermal unit (BTU), investasi hilirisasi tak bakal dilirik.

Pemerintah memang telah mencanangkan program prioritas strategis membangun kilang minyak konvensional. Namun, hingga sekarang tantangan untuk mencapai target masih ada: pasokan bahan baku, permodalan, dan model bisnis.

Kalaupun program ini sukses, impor minyak mentah tetaplah menguras devisa dan pengelolaan risiko makro masih merupakan pekerjaan besar.

Beberapa negara, seperti Singapura, Taiwan, dan Jepang yang terbatas sumber daya, mengandalkan impor migas. Namun, negara-negara tersebut memperdagangkan bahan bakar sesuai nilai keekonomiannya. Karena itu, berapa pun harga pasar internasional langsung diteruskan ke konsumen domestik tanpa subsidi.

Kawasan ekonomi khusus

Sebagai masukan kerangka kebijakan hilirisasi batubara lima tahun ke depan, dianjurkan antara lain sebagai berikut.

Pertama, kawasan proyek hilirisasi ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) yang beroleh status bebas pajak (tax holiday) dan full tax allowance.
Kedua, minimnya infrastruktur kawasan, jika diperlukan, bisa dibangun dengan bantuan pemerintah.

Ketiga, investor tak dibebani kewajiban memenuhi TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang kadang mempersulit proses. Hanya sarana pendukung seperti pelabuhan, jaringan air, perumahan, bisa diserahkan pada kontraktor lokal.

Keempat, alih teknologi penting dengan melibatkan sumber daya manusia (SDM) kita, mulai dari belakang operasi dan perawatan pabrik. Hingga kemudian, jika proyek berkembang, SDM kita terlibat mulai dari perancangan, pengadaan, hingga konstruksi.

Kelima, sumber-sumber dana dalam negeri dapat dilibatkan dengan menimbang kelayakan proyek hilirisasi. Maka, skema PINA (pembiayaan investasi non-anggaran pemerintah) bakal menjadi tambahan sumber pendanaan program strategis ini. Hingga manfaat keuangan juga dinikmati lembaga pendanaan kita.
Maka, rancangan aksi yang cermat perlu disusun. Visi Presiden Jokowi sangat jelas: swasembada. Tinggal kejelasan angka sasaran, jangka waktu, dan siapa mengerjakan apa.

(Alhilal Hamdi Komisaris Utama PLN 2006-2009; Ketua Timnas BBN 2006-2008; Menakertrans 1999-2001)

KOMPAS, 07012020 Hal. 7.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.