TEKNOLOGI FINANSIAL: Arah dan Tantangan Industri Tekfin

Menutup tahun 2019, perusahaan teknologi Grab mengabarkan telah bermitra dengan salah satu operator telekomunikasi terbesar di Singapura, Singapore Telecommunications (Singtel), untuk mengajukan lisensi perbankan digital penuh kepada pemerintah Singapura.

Dalam pernyataan resmi, seperti dikutip Bloomberg, Senin (30/12/2019), dalam konsorsium bank digital itu, Grab akan memiliki 60 persen saham, sementara Singtel memegang sisanya. Melalui konsorsium itu, Grab dan Singtel menargetkan konsumen digital serta pelaku usaha kecil dan menengah yang tidak memiliki akses ke kredit sebagai nasabah.

Bagi Grab, bisnis perbankan digital melengkapi aneka fitur layanan di platformnya. Sebelumnya, Grab punya dompet elektronik bernama GrabPay yang memudahkan pelanggan dalam transaksi. Adapun SingTel punya layanan pembayaran digital, yakni aplikasi Dash.

Otoritas moneter Singapura memang telah meluncurkan rencana kebijakan memberikan lima lisensi bank virtual tahun 2019. Dari jumlah ini, dua lisensi untuk bank digital penuh dan tiga lisensi sisanya terbatas untuk melayani klien perusahaan.

Langkah otoritas moneter Singapura membuka kesempatan bagi perusahaan teknologi untuk ’bermain’ di industri perbankan mirip dengan yang terjadi di Hong Kong. Ant Financial dan Tencent Holding, misalnya, telah memperoleh lisensi tahun ini.

Laporan riset Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Co berjudul ”e-Economy SEA 2019” menyebutkan, dari sekitar 400 juta orang dewasa di Asia Tenggara, hanya 104 juta orang yang sudah menikmati akses penuh layanan finansial. Sekitar 98 juta orang lainnya tergolong underbanked atau punya rekening bank tetapi tak punya cukup akses ke kredit, investasi, dan asuransi. Sebanyak 198 juta orang lainnya unbanked atau tak punya rekening bank. Jutaan perusahaan kecil dan menengah masuk kelompok ini dan menghadapi kesenjangan pendanaan.

Temuan riset itu kerap jadi alasan bagi perusahaan teknologi mengembangkan layanan keuangan yang digerakkan oleh teknologi (tekfin). Otoritas moneter Singapura juga mengungkap alasan serupa selain penekanan pentingnya meningkatkan kompetisi dan inovasi.

Dengan diaktifkan oleh teknologi dan berdasarkan data yang kuat, layanan tekfin dapat membantu meningkatkan kenyamanan, memangkas biaya, dan lebih inklusif untuk semua kalangan, di luar mempermudah akses bertransaksi.

Laporan ”e-Economy SEA 2019” memproyeksikan, lanskap tekfin masa depan tak hanya diisi oleh perusahaan yang biasanya bermain di sektor ini, seperti bank, perusahaan pengiriman uang, dan asuransi, tetapi juga perusahaan ride hailing, telekomunikasi, e-dagang, dan platform media sosial. Mereka secara umum dapat diklasifikasikan jadi perusahaan tekfin murni, teknologi konsumen, jasa keuangan mapan, dan produk konsumer mapan.

Terintegrasi

Praktisi tekfin dan inklusi keuangan, Nik Milanovic, dalam tulisan opininya berjudul Fintech’s Next Decade Will Look Radically Different, di Techcrunch, Minggu (22/12/2019) menyebutkan, suntikan investasi perusahaan modal ventura ke penyedia layanan tekfin naik dari 2 miliar dollar AS pada 2010 jadi lebih dari 50 miliar dollar AS pada 2018. Layanan tekfin akan jadi bagian dari fungsi dasar produk nonkeuangan.

Konsep embedded fintech akan makin marak. Dengan konsep ini, alih-alih ditawarkan sebagai produk mandiri, layanan tekfin justru jadi bagian antarmuka dan tertanam di platform produk lain. Satu dekade mendatang, konsumen mungkin tak perlu buka akun baru di produk layanan tekfin tertentu, melainkan langsung mengakses tekfin di platform yang sudah mereka punya.

Beberapa bulan terakhir, kata Nic, sinyal-sinyal itu sudah terlihat. Apple memulai debutnya dengan Apple Card, lalu Amazon menawarkan Amazon Pay dan Amazon Cash. Adapun Facebook dengan proyek Libra dan Facebook Pay. Google baru-baru ini mengumumkan kerja sama dengan Citigroup untuk mengembangkan akun personal perbankan.

Tren global itu juga menjangkiti Indonesia. Dari sisi layanan tekfin pembayaran, perusahaan teknologi Gojek yang semula di bisnis ride hailing lalu mengembangkan GoPay. Dompet elektronik GoPay dikemas sebagai ekosistem terbuka sehingga bisa dipakai bertransaksi luring atau daring di luar ekosistem Gojek.

Perusahaan e-dagang Tokopedia membangun fitur agregator layanan tekfin, seperti jasa pembayaran aneka tagihan, bayar tabungan emas, dan reksadana. Beberapa badan usaha milik negara mulai dari bank sampai transportasi masuk jadi pemegang saham dompet elektronik LinkAja.

Sementara di sisi layanan tekfin peminjaman, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan sudah ada 164 penyedia pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi berstatus terdaftar/berizin per 26 Desember 2019.

Beberapa penyedia pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia berkolaborasi dengan bank, terutama berkaitan dengan penerusan kredit. Diantara penyedia bahkan sudah membuka diri kolaborasi, seperti KreditPintar.

Sejumlah bank nasional ramai-ramai meluncurkan aplikasi perbankan digital. Dimulai BTPN dengan aplikasi Jenius hingga BCA yang mengakuisisi Bank Royal Indonesia untuk merealisasikan rencana aplikasi perbankan digital.

Regulasi kompleks

Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudistira Adhinegara, fenomena yang terjadi di ranah layanan tekfin menghasilkan tantangan regulasi yang makin kompleks. Terintegrasi satu platform atau embedded fintech akan terjadi.

Terkait persaingan usaha sehat atau pencegahan oligopoli, misalnya, jika penyedia tekfin murni berintegrasi dengan nonkeuangan, lalu keduanya sama-sama mapan, maka kemungkinannya akan tercipta induk (holding) raksasa industri baru. Hal ini akan menyulitkan pemain baru untuk bersaing.

Selain itu, perusahaan aplikasi internet (over-the-top) yang punya bisnis layanan tekfin di Indonesia perlu dipastikan patuh pajak. Pengejaran pajak mungkin sukar dilakukan karena perusahaan biasanya enggan membentuk badan usaha tetap di Indonesia.

Tantangan lain yang tak boleh diabaikan adalah perlindungan data pribadi nasabah. Penekanan regulasinya adalah data konsumen apa saja yang boleh dibagi ke layanan tekfin lain bahkan di satu induk perusahaan.
Nic punya pandangan senada. Skandal Cambridge Analytica dan pelanggaran data yang membahayakan 145 juta akun Equifax memicu kesadaran publik hari ini tentang pentingnya keamanan data.

Menurut Country Manager Trend Micro Indonesia & Cloud Security Alliance, Laksana Budiwiyono, ancaman kejahatan siber ke depan bukan lagi semata soal virus atau perangkat lunak perusah. Hadirnya sistem perbankan terbuka dan embedded fintech memicu ancaman lebih besar yaitu kebocoran data pribadi.

Dengan demikian, kenyamanan bertransaksi keuangan semestinya sejalan dengan kokohnya keamanan data pribadi konsumen.

KOMPAS, 04012020

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.