JAKARTA, KOMPAS — Sumber daya genetika yang perlu dilindungi tak hanya dari organisme di alam liar, tetapi juga dari tumbuhan dan satwa yang dibudidayakan. Karena itu, cakupan lengkap sumber daya genetika wajib tercantum pada Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang disempurnakan.
Kepala Divisi Konservasi Keanekaragaman Hayati Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor Machmud Thohari menyatakan hal itu pada diskusi yang diadakan Yayasan Keanekaragaman Hayati, Selasa (12/1) di Jakarta.
Penyusun RUU juga diminta merumuskan pasal-pasal yang mudah dimengerti awam. “Banyak yang tak tahu apa itu Protokol Nagoya,” kata Thohari.
Protokol Nagoya mengatur akses ke sumber daya genetika dan pembagian manfaat adil dan seimbang sesuai Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB. Pemerintah menyusun RUU Sumber Daya Genetika untuk penerapan teknis protokol itu, tapi lalu digabung RUU revisi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Sumber daya genetika berasal dari sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan, termasuk tumbuhan dan satwa yang dibudidayakan warga. Tanpa paham pentingnya perlindungan sumber daya genetika, warga dirugikan saat bekerja sama dengan pihak asing.
Ia mencontohkan, sapi bali ialah sapi asli Indonesia keturunan banteng dengan mutu daging terbaik dunia, tahan penyakit, dan bisa beradaptasi di semua daerah di Indonesia. Malaysia mengimpor sapi jenis ini dan kemungkinan mempelajari pemanfaatan sumber daya genetikanya.
Direktur Eksekutif Policy and Law Institute for Good Governance Harry Alexander menilai pengaturan sumber daya genetika yang mencakup banyak sektor tak tecermin di rumusan terkini RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Sumber daya genetika sektor kehutanan lebih dominan. “Penggabungan RUU Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Genetika jangan mengecilkan makna salah satunya,” ucapnya.
Menurut Kepala Subdirektorat Sumber Daya Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia, penyusun RUU menerima masukan hingga hal teknis karena konsultasi publik belum berakhir.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Endang Sukara menilai pengembangan iptek tak ada di RUU. Padahal, konservasi sumber daya genetika butuh penguasaan iptek. (JOG)
Kompas 13012016 Hal. 14