JAKARTA, KOMPAS — Harga komoditas tambang mineral yang anjlok akhir-akhirnya dikhawatirkan mengganggu proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter, khususnya nikel. Dibutuhkan campur tangan dari pemerintah agar pembangunan smelter yang ditujukan untuk menaikkan nilai tambah di dalam negeri tidak terganggu.
Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengatakan, ada satu unit smelter nikel yang terancam terhenti pembangunannya. Hal itu disebabkan rendahnya harga nikel akhir-akhir ini sehingga dinilai tidak ekonomis apabila dibangun smelter.
Harga nikel saat ini sekitar 6.000 dollar AS per ton. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding dengan awal tahun 2015 sekitar 16.000 dollar AS per ton. Harga nikel yang rendah ditengarai akibat menurunnya permintaan karena kelesuan ekonomi global. “Ada dua perusahaan yang seharusnya merampungkan pembangunan smelter nikel pada 2015. Hanya akibat rendahnya harga nikel dan kondisi perekonomian yang lesu, ada tanda-tanda kemajuan pembangunan terhambat,” kata Ladjiman, Kamis (7/1), di Jakarta.
Ladjiman menambahkan, pemerintah sebaiknya turun tangan membantu mempercepat pembangunan smelter di Indonesia. Percepatan itu berupa penghapusan pajak dalam periode tertentu (tax holiday) atau kelonggaran pajak (tax allowance).
Di samping pemberian insentif berupa tax holiday atau tax allowance, imbuh Ladjiman, pemerintah perlu menyusun peta jalan smelter di Indonesia. Peta jalan itu memuat cadangan mineral, produksi, dan penyerapan oleh pasar. Informasi tersebut sangat dibutuhkan pengusaha agar pembangunan smelter tidak menyebabkan kerugian.
“Perlu sinergi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Kementerian Perindustrian. Perlu dihitung berapa cadangan, produksi, ataupun kebutuhan pasar atas tambang mineral. Pengusaha bisa menghitung keekonomian membangun smelter di dalam negeri,” kata Ladjiman.
Mengenai peta jalan smelter di Indonesia, Ketua Asosiasi Smelter Indonesia R Sukhyar mengatakan, pembangunan smelter harus disertai dengan jaminan pasokan untuk kesinambungan operasi. Hal itu bisa terwujud lewat penyusunan peta jalan smelter nasional yang mengatur soal kapasitas smelter dengan cadangan mineral yang menjadi bahan baku pengolahan di smelter.”Insentif memang dibutuhkan pengusaha karena modal membangun smelter sangat besar, bisa mencapai triliunan rupiah. Agar nilai keekonomian pembangunan tinggi, harus ada kesesuaian antara kapasitas smelter yang dibangun dan jumlah cadangan tersisa,” kata Sukhyar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono mengatakan, sejumlah perusahaan yang membangun smelter memang tengah mengajukan insentif berupa tax holiday dan tax allowance.
Pemerintah, menurut Bambang, tengah menggiatkan penertiban tambang ilegal agar tidak mengganggu pasokan konsentrat yang diperlukan smelter di Indonesia. Tercatat sebanyak 10.319 izin usaha pertambangan (IUP), di mana 3.945 IUP masih belum berstatus bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC).
“Rencana pembangunan smelter sebanyak 72 unit. Sekitar 6 unit telah beroperasi, sedangkan 47 unit pembangunannya di atas 30 persen,” kata Bambang.
Pembangunan smelter merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam Pasal 103 Ayat 1 UU disebutkan, pemegang IUP dan IUP Khusus Operasi diwajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Tujuan utama pengolahan dan pemurnian mineral dilakukan di dalam negeri adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja lokal. (APO)
Kompas 08012016 Hal. 19