JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 40 tahun rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia bergulir. Perdebatan perlu tidaknya PLTN mengemuka. Namun, hingga kini belum ada ketegasan pemerintah untuk melanjutkan atau menghentikan rencana pembangunan itu.
“Jika maksimal tahun depan Presiden menegaskan go nuclear, target pengoperasian PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) pertama di Indonesia 2024-2025 bisa dipenuhi,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto di Jakarta, Senin (28/12). Pembangunan PLTN butuh waktu 7-10 tahun.
Target pengoperasian PLTN itu sesuai rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tinggal menunggu keputusan Presiden. Menurut rencana, PLTN pertama berkapasitas 4 x 1,1 gigawatt-1,5 gigawatt atau total sekitar 5 gigawatt. Ada beberapa opsi lokasi pembangkit, yakni Pulau Bangka yang sudah dilakukan studi kelayakan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, atau Pulau Batam.
Selain lama, pola pembiayaan pembangunan PLTN perlu pertimbangan matang karena butuh biaya besar di awal pembangunan. Pendirian satu reaktor PLTN butuh sekitar Rp 50 triliun. Berbagai skema pembiayaan ditawarkan banyak investor asing.
Jika pemerintah menghentikan rencana pembangunan PLTN, lanjut Djarot, dana penelitian dan pengembangan PLTN yang selama ini cukup besar bisa dialihkan untuk riset nuklir sektor lain, seperti pertanian, peternakan, kesehatan, dan industri. “Kejelasan itu membuat dana riset Batan yang terbatas bisa difokuskan ke riset yang lebih besar manfaatnya,” ujarnya.
Sumber energi lain
Selain itu, jika rencana pembangunan PLTN dihentikan, pemerintah harus mencari sumber energi lain. Hal itu untuk menopang kebutuhan masyarakat yang meningkat dan menggerakkan industri nasional.
Kini, sebagian warga, khususnya luar Jawa, frustrasi dengan krisis pasokan listrik. Jajak pendapat Sigma Research pada 4.000 responden di 34 provinsi, Oktober-November 2015, menunjukkan, 75,3 persen responden setuju dengan pendirian PLTN.
Penerimaan PLTN tertinggi pada responden di Sumatera dan Sulawesi, 81,7 persen dan 82,6 persen. Penerimaan terendah pada responden di Jawa-Bali, 72,3 persen. “Sebanyak 71,4 persen responden menerima PLTN karena tidak ingin ada pemadaman listrik lagi di daerahnya,” kata Direktur Riset Sigma Research Prima Ariestonandri.
Mereka yang menolak PLTN, 78,7 persen, khawatir terjadi kecelakaan atau kebocoran radiasi PLTN. Hanya 14,5 persen responden yang menolak PLTN karena tidak percaya kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam mengelola PLTN.
Namun, pemilihan sumber energi lain juga tak mudah. Menurut Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe, pemikul beban dasar energi nasional ialah pembangkit listrik tenaga uap yang memicu cemaran udara besar. Padahal, Indonesia berkomitmen menekan emisi gas buang 29 persen 15 tahun ke depan.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan pemanfaatan energi baru terbarukan minimal 23 persen pada 2025, tetapi teknologi pemanfaatannya terbatas. Meski secara teknis, lingkungan, dan kebutuhan warga PLTN layak dibangun, putusan pemerintah terkait pembangunan pembangkit itu butuh penerimaan masyarakat. (MZW)
Kompas 29122015 Hal. 14