JAKARTA, KOMPAS — Dampak kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen terhadap stabilitas pasar keuangan domestik semakin terukur. Fundamen ekonomi Indonesia akan menjadi faktor penting bagi investor yang akan kembali menanamkan modal di Indonesia.
Untuk pertama kalinya sejak 2006, The Fed menaikkan suku bunga acuan. Keputusan Rapat Komite Terbuka Federal (FOMC) ini antara lain didasari keyakinan perekonomian AS yang kian membaik, termasuk target inflasi sebesar 2 persen.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menuturkan, kenaikan suku bunga acuan ini sudah sesuai ekspektasi pasar.
“Yang masih ditunggu adalah berapa besar kenaikan suku bunga dan berapa kali pada tahun depan. Respons bank sentral lain terhadap kebijakan moneter The Fed itu juga akan menjadi perhatian,” ujar Josua, Kamis (17/12), di Jakarta.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat kemarin, seiring kenaikan bursa saham global, merespons kenaikan suku bunga acuan The Fed. IHSG naik 72,511 poin atau 1,617 persen ke level 4.555,964.
Kemarin, investor membukukan transaksi Rp 6,26 triliun. Adapun investor asing mencatat pembelian bersih Rp 1,1 triliun.
Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kemarin, sebesar Rp 14.028 per dollar AS. Posisi ini menguat 22 poin dibandingkan Rabu, yang sebesar Rp 14.050 per dollar AS.
Meskipun demikian, Josua berpendapat, setelah kenaikan suku bunga acuan The Fed jelas, nilai tukar rupiah masih akan dipengaruhi arah defisit transaksi berjalan dan harga komoditas. Defisit transaksi berjalan yang pada akhir tahun ini diperkirakan tak lebih dari 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), kemungkinan meningkat pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan belanja infrastruktur pemerintah yang kian ekspansif.
Jika defisit transaksi berjalan meningkat, nilai tukar rupiah akan semakin tertekan.
Waspada
Kemarin, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI atau BI Rate sebesar 7,5 persen. Dalam siaran pers hasil RDG disebutkan, BI mewaspadai sejumlah risiko eksternal, khususnya perlambatan ekonomi Tiongkok dan kondisi pasar keuangan global setelah kenaikan suku bunga acuan The Fed.
Ekonom Senior Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menuturkan, dengan risiko kenaikan suku bunga acuan The Fed yang makin terukur, investor akan melihat fundamen ekonomi Indonesia. Fundamen perekonomian Indonesia termasuk bagus dibandingkan dengan sebagian besar negara lain. Inflasi Indonesia tahun ini diperkirakan tak lebih dari 3 persen dan pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik ke arah 5 persen.
Kepala Ekonom dan Riset PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah pada masa mendatang akan memengaruhi selisih imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia dan AS yang diterima investor.
“Selisih imbal hasil obligasi Pemerintah AS dan Indonesia kira-kira masih 7,5 persen. Namun, dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang sudah sekitar 10 persen, investor asing sebetulnya secara riil sudah kehilangan 2,5 persen jika berinvestasi di Indonesia. Maka, penguatan nilai tukar rupiah akan menentukan arah masuknya modal asing ke Indonesia,” ujar Lana.
Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rachmat mengingatkan kenaikan suku bunga acuan The Fed yang masih akan terjadi secara bertahap. “Sangat mungkin perasaan lega yang sedang membanjiri pasar modal di seluruh dunia ini hanya akan sebentar,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani meminta pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan The Fed secara gradual atau bertahap. Kenaikan secara gradual tersebut berpotensi memperkuat dollar AS. Oleh karena itu, ekspor produk industri harus terus diperkuat agar defisit transaksi berjalan bisa ditekan.
Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah tetap percaya diri dengan kondisi perekonomian di Tanah Air. Kalla juga meyakini, penanaman modal asing akan bertahan di Indonesia. (AHA/BEN/CAS/WHY)
Kompas 18122015 Hal. 17