JAMBI, KOMPAS — Penurunan harga minyak dunia yang mendorong produksi karet sintetis semakin menggerus kebutuhan karet alam yang harganya pun jatuh. Tanpa upaya penyelamatan, harga karet dunia dikhawatirkan akan terus merosot. Kerugian petani dan negara kian parah.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia Provinsi Jambi Hatta Arifin, Selasa (1/12), mengatakan, harga karet alam telah mencapai titik terendah yaitu 1,1 dollar AS selama empat tahun terakhir. Harga ini diperkirakan masih turun hingga 1 dollar AS pada awal 2016.
Menurut Hatta, suplai karet alam berlebih dibandingkan kebutuhan pasar setelah sejumlah negara produsen baru bermunculan, seperti Vietnam, Kamboja, dan Tiongkok. “Upaya produsen karet dalam negeri mengurangi volume ekspor karet 10 persen pada tahun lalu,” ujar Hatta, dalam Diseminasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Jambi di Jambi, Selasa (1/12).
Penurunan harga minyak dunia juga berdampak pada meningkatnya produksi karet sintetis. Produsen-produsen ban dunia makin meningkatkan pemanfaatan karet sintetis karena harganya sepertiga lebih murah daripada karet alam.
Ekspor karet remah asal Jambi pada 2014 mencapai 328.571 ton. Adapun ekspor karet selama Januari-September sekitar 309.269 ton. Pelemahan ekspor diperkirakan hingga tahun depan.
Untuk itu, pemerintah diminta menyetop sementara ekspor karet remah (crumb rubber). Ini dibarengi dengan peningkatan serapan karet dalam negeri. Dari total produksi karet, tak sampai 10 persen yang digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Padahal, sejumlah negara produsen di ASEAN telah memanfaatkan sendiri karet mereka untuk pembangunan jalan dan jembatan, yaitu sebagai campuran aspal. “Pemanfaatan karet sebagai campuran aspal sudah dimanfaatkan Malaysia dan Thailand. Hanya Indonesia yang belum,” ujarnya.
Peneliti Ekonomi Institut Pertanian Bogor, Muhammad Firdaus, membenarkan ancaman penurunan harga karet. “Pengolahan karet sintetis akan terus meningkat seiring murahnya harga minyak dunia,” ujarnya.
Kepala Badan Pusat Statistik Kalsel Dyan Pramono Effendi menjelaskan penurunan nilai tukar petani (NTP) terbesar terjadi pada subsektor perkebunan rakyat, yakni sebesar 0,70 persen, dari 84,23 (Oktober) menjadi 83,64 (November). Sebelumnya, NTP tanaman perkebunan rakyat tercatat 85,12 (September) dan 86,86 (Agustus).
“NTP di bawah 100 bukanlah kondisi menggembirakan. Sebab, itu berarti biaya yang dikeluarkan petani untuk konsumsi rumah tangga jauh lebih besar daripada hasil yang diperolehnya. Dengan demikian, kehidupan petani tidaklah sejahtera,” ujarnya.
Arbudin (29), petani karet di Desa Binjai Punggal, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, menuturkan, karet hampir tidak ada harganya karena hanya dihargai Rp 4.500 per kilogram. “Harga karet terus turun dan tak sebanding dengan harga bahan-bahan pokok yang terus naik. Hasil karet pun hanya pas-pasan untuk makan seadanya,” ucapnya. (ITA/JUM)
Kompas 02122015 Hal. 21