Hilirisasi Perlu Topang Ekspor : Pengembangan Industri Hilir Terkendala Ketiadaan Industri Antara

JAKARTA, KOMPAS — Tren ekspor secara global yang terjadi beberapa tahun terakhir berupa produk-produk jadi. Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas bahan mentah. Ekspor Indonesia perlu ditopang hilirisasi untuk memberikan nilai tambah produk.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Nus Nuzulia Ishak, Selasa (17/11), di Jakarta, mengatakan, tren ekspor produk jadi hasil hilirisasi secara global naik. Harga produk itu juga tidak terpengaruh pasar seperti bahan baku mentah.
Produk jadi karet, misalnya. Tren ekspor ban, belt, karet komplemen sepeda motor, compound, dan sheet rubber meningkat dalam lima tahun terakhir masing-masing 9 persen, 10,2 persen, 13,9 persen, 14,1 persen, dan 20,2 persen. “Kalau melihat struktur ekspor karet Indonesia, karet alam atau konvensional dalam bentuk SIR masih mendominasi, yaitu 61,57 persen dari total ekspor karet dan produk karet pada 2014, yaitu 7,10 miliar dollar AS. Tren ekspor karet alam selama lima tahun terakhir turun minus 7,9 persen,” kata Nus.
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Aziz Pane berpendapat, pengembangan industri hilir karet di Indonesia terkendala utama ketiadaan industri antara yang kuat sehingga ketergantungan terhadap impor bahan baku atau penolong di industri hilir karet dalam negeri masih tinggi.
“Dulu, ada perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri intermediate (antara) karet. Namun, mereka hengkang waktu krisis moneter 1998,” kata Aziz Pane, ketika dihubungi dari Nusa Dua, Bali, Selasa.
Menurut Aziz, karakteristik investasi industri antara adalah membutuhkan modal besar, waktu balik modal lama, dan berisiko tinggi. Jika tidak atau belum ada swasta yang berminat masuk, harus ada badan usaha milik negara yang menginisiasi.
Keberadaan industri antara yang kuat, lanjut Aziz, menjadikan beberapa negara tetangga unggul di industri hilir karet. “Malaysia kini menjadi produsen terbesar sarung tangan di dunia. Bicara karet untuk celana atau busana, Thailand kini jadi juara,” katanya.
Menurut Aziz, dukungan komitmen penggunaan produk dalam negeri pun dibutuhkan agar industri hilir karet di Indonesia berkembang, misalnya industri penghasil bantalan karet dermaga ada di Bogor, Sidoarjo, dan Medan. “Namun, perkembangan industri hilir ini tidak pesat karena masih ada yang lebih memilih impor bantalan karet kapal,” kata Aziz.

Hilirisasi kakao

Menurut Nus, komoditas ekspor yang proses hilirisasinya bagus adalah kakao, meskipun tidak diikuti perluasan dan peningkatan produktivitas kakao. Pertumbuhan industri di sektor itu mampu memberikan nilai tambah biji kakao. Tren ekspor produk kakao, seperti lemak kakao dan pasta kakao, selama lima tahun terakhir naik 24,7 persen dan 15,5 persen. Tren ekspor biji kakao minus 32 persen.
“Dilihat dari struktur ekspor kakao, lemak kakao mendominasi sebesar 60,33 persen dan pasta kakao 16,5 persen dari total nilai ekspor kakao 2014, yaitu 1 miliar dollar AS. Ekspor biji kakao saat ini turun dari semula sekitar 90 persen menjadi 10,55 persen,” kata Nus.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, peran Indonesia dalam rantai pasokan global masih dominan dalam posisi sebagai pemasok bahan mentah dan konsumen. Kondisi itu tidak akan menguntungkan Indonesia saat menjalin kerja sama internasional, apalagi setingkat Kemitraan Trans-Pasifik.
“Indonesia masih terjebak pada skema peningkatan ekspor barang mentah yang rentan terhadap fluktuasi permintaan global,” kata Bhima.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai impor Januari- Oktober 2015 sebesar 119,05 miliar dollar AS, turun 20,47 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2014. Dari nilai itu, 75,44 persen merupakan impor bahan baku/penolong. (CAS/HEN)
Kompas 18112015 Hal. 18

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.