Rancangan KUHP : Pemberlakuan Hukum Adat Perlu Diatur

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mempertimbangkan untuk memasukkan hukum adat (hukum yang hidup di masyarakat) sebagai sumber hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan terkait hukum adat dapat diterima sepanjang hukum yang berkembang di masyarakat itu dibatasi dan ditetapkan terlebih dulu dalam peraturan daerah setempat.

Hal itu dibahas dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/11).
Rapat tersebut membahas 44 butir daftar inventarisasi masalah (DIM) KUHP. Pembahasan mengenai hukum adat memakan waktu paling lama, yaitu sekitar satu jam. Pada akhir rapat, DIM terkait dengan hukum adat itu disepakati akan dirumuskan lebih lanjut oleh tim perumus pemerintah. Sementara anggota Panja yang masih keberatan dengan ketentuan tersebut diminta berkonsultasi terlebih dulu dengan fraksinya masing-masing.
Mayoritas fraksi menilai, perlu ada aturan lebih lanjut terkait dengan pemberlakuan hukum adat atau hukum hidup. Hukum adat dapat diterima menjadi sumber hukum pidana selama dirumuskan atau ditetapkan dalam peraturan daerah (perda) yang diakui secara nasional.
“Hal tersebut dilakukan untuk menjamin agar dalam penerapannya nanti tidak menyulitkan aparat kepolisian sebagai lembaga penegak hukum,” kata anggota Panja KUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani.
Pengaturan hukum adat sebagai landasan hukum pidana terdapat dalam Pasal 2 Rancangan KUHP. Pasal itu menyebutkan, ketentuan tindak pidana tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di masyarakat. Hukum adat juga disebutkan berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Anggota Panja KUHP dari Fraksi Partai Gerindra, Supratman, mengatakan, fraksinya tidak mempermasalahkan hukum adat dijadikan sumber hukum pidana. Namun, perlu ada cara untuk menerjemahkannya dalam sistem hukum pidana yang terstruktur melalui suatu bentuk landasan hukum.
“Mungkin, pemerintah bisa memberi pengakuan terhadap berlakunya hukum pidana adat dengan memuatnya dalam bentuk peraturan daerah yang disahkan melalui DPR,” katanya.
Ketua Panja KUHP dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman menambahkan, perlu ada identifikasi terkait dengan hukum adat mana yang bisa dan tidak bisa dimasukkan sebagai sumber hukum pidana. Pemberlakuan hukum adat juga perlu disesuaikan juga dengan perkembangan zaman.
Pakar hukum pidana Muladi yang hadir bersama jajaran Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui perlunya pembatasan dan pengaturan lebih lanjut tentang penggunaan hukum adat sebagai sumber hukum dalam KUHP. Pasalnya, tidak semua hukum adat memiliki unsur pidana, seperti di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali. (AGE)
Kompas 18112015 Hal. 4

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.