JAKARTA, KOMPAS — Ekspor ilegal bahan mineral tambang mentah kian marak sejak larangan ekspor bahan tambang mentah berlaku per awal 2014. Hal itu tecermin dari data penggagalan usaha penyelundupan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), terdapat 11 ekspor ilegal minerba yang digagalkan pada 2013. Pada 2014, jumlah upaya penyelundupan meningkat menjadi 82 kasus. Per November 2015, ekspor ilegal minerba sebanyak 55 kasus.
Bahkan, kasus terakhir yang digagalan DJBC adalah upaya penyelundupan produk ekspor minerba yang terbesar dari sisi volume dan jumlah pelaku.
Hal itu disampaikan dalam keterangan pers, di Jakarta, Senin (9/11). Hadir sebagai narasumber antara lain Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi.
Menurut Bambang, usaha penyelundupan terakhir menyangkut 80 peti kemas minerba mentah. Jenisnya antara lain bijih besi, terak timah, konsentrat seng, batu mulia, dan bijih tembaga. Asalnya antara lain dari Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan. Tujuan ekspornya meliputi Singapura, Thailand, India, Taiwan, Korea, Hongkong, dan Belanda.
Modus yang digunakan, menurut Bambang, memanipulasi data ekspor, termasuk menyampaikan dokumen pemberitahuan pabean palsu. Upaya penyeludupan ekspor itu dilakukan 21 eksportir berbahan hukum CV dan PT. Potensi kerugian keuangan negara Rp 73 miliar, selain kerusakan alam.
Ekspor minerba mentah melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4/M-DAG/PER/1 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Heru menambahkan, minerba yang akan diselundupkan itu sebagian besar berasal dari penambangan liar. Namun, ada yang berasal dari penambangan legal.
Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo menegaskan, pemerintah akan memerangi impor dan ekspor ilegal mulai dari pelabuhan resmi dan tikus.
Di tingkat pedagang eceran, pemerintah tidak akan melakukan razia besar-besaran. “Namun, bukan berarti tidak ada pengawasan barang beredar,” kata Widodo. Ia berharap pedagang dan pengecer mengantongi nama pemasok barang. Mereka juga harus melengkapi persyaratan atau legalitas barang yang diperdagangkan. (LAS/HEN)
Kompas 10112015 Hal. 17