JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan penjajakan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Untuk itu Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perdagangan sedang menghitung keuntungan dan kerugiannya bila bergabung dengan TPP.
“Penghitungan itu mungkin masih belum komplet sehingga belum bisa dibagikan ke publik,” ujar Direktur Kerja Sama APEC dan Organisasi Internasional Lainnya Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Deny Wachyudi Kurnia di Jakarta, Rabu (28/10).
Menurut Denny, apabila Indonesia bergabung dalam TPP pasti akan ada untung dan ruginya. Keuntungannya akses pasar perdagangan barang, jasa, dan investasi akan terbuka lebar. Di sisi lain, beberapa sektor membutuhkan penerimaan dalam negeri dan perubahan regulasi.
Yang paling sulit nanti adalah perubahan di dalam negeri karena ada sejumlah ketentuan TPP yang harus diterapkan. Ketentuan itu, misalnya pengurangan hak-hak eksklusif badan usaha milik negara (BUMN).
“Perubahan atau penyesuaian regulasi di dalam negeri juga perlu dilakukan agar sesuai dengan level kesepakatan TPP. Hal itu, misalnya, menyangkut aturan investasi, BUMN, perburuhan, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan lingkungan,” ujarnya.
Berdasarkan data Ringkasan Perjanjian TPP di Office of The United States Trade Representative ada 30 bidang kesepakatan dalam TPP.
Beberapa di antaranya mengenai pengadaan barang pemerintah, BUMN, investasi, UMKM, dan HKI.
Di tempat terpisah Kepala Departemen Ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal mengatakan, ada manfaat bagi Indonesia untuk memasuki TPP, yakni sebuah potensi pasar besar di 12 negara anggota. Jika Indonesia tidak memasuki kelompok ini, jelas ada biaya.
Akan tetapi, Yose lebih melihat potensi kekalahan bersaing yang akan dialami Indonesia dari Vietnam, salah satu anggota TPP. TPP beranggotakan Amerika Serikat, Australia, Brunei, Kanada, Cile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.
TPP merupakan kelompok yang diprakarsai AS dan begitu gencar diusahakan di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama. TPP menjanjikan liberalisasi perdagangan dan investasi dan disepakati ke-12 negara pada 5 Oktober di Atlanta, AS.
Indonesia tidak masuk ke dalam TPP. Akan tetapi, dalam kunjungan ke AS pekan ini, Presiden Joko Widodo mendapatkan tawaran dari Pemerintah AS untuk bergabung ke TPP.
Menurut Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Sofjan Wanandi, hal itu baru sekadar tawaran, belum keputusan karena harus dikaji untung ruginya.
Defisit
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menuturkan, pemerintah harus sangat jeli membaca perjanjian TPP. Dari pengalaman perjanjian pasar bebas dengan sejumlah negara dan kawasan, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.
Sebelum memutuskan bergabung, pemerintah sebaiknya memastikan dulu apakah infrastruktur dan industri manufaktur sudah siap. (HEN/AHA/MON)
Kompas 29102015 Hal. 17