WASHINGTON DC, KOMPAS — Penggunaan sistem kinerja berbasis navigasi (performance-based navigation) membantu penataan rute agar jarak penerbangan lebih pendek. Hal ini akan menghemat pemakaian bahan bakar sehingga berefek positif bagi lingkungan.
“Dengan kinerja berbasis navigasi, terbang tidak berbasis fasilitas di darat, tetapi satelit,” kata Direktur Utama Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (AirNav Indonesia) Bambang Tjahjono di Washington DC, Sabtu malam waktu setempat atau Minggu (25/10) waktu Indonesia, seperti dilaporkan wartawan Kompas, C Anto Saptowalyono, dari kota itu.
Bambang menuturkan, penggunaan panduan satelit dalam penentuan titik pengecekan pesawat tersebut akan mengefisienkan bahan bakar karena penerbangan bisa lurus.
“Di samping jarak penerbangan lebih pendek, diharapkan ke depan bahan bakar yang digunakan pesawat pun semakin ramah lingkungan, terbarukan, dan berkelanjutan. Untuk itu pesawat dan peralatannya tentu harus dilengkapi,” kata Bambang.
Sebelumnya, Executive Director of the Office of Environment and Energy Federal Aviation Administration (FAA) Lourdes Maurice akhir pekan lalu mengatakan, ada beberapa pilar pendekatan terkait strategi lingkungan dan energi.
Pilar dimaksud meliputi pengembangan ilmu pengetahuan dan model terintegrasi serta teknologi penerbangan terbaru. “Pilar lain adalah bahan bakar penerbangan alternatif berkelanjutan,” kata Maurice.
Terkait pilar bahan bakar alternatif berkelanjutan tersebut, Maurice mengatakan, ada kolaborasi dengan pemangku kepentingan melalui Commercial Aviation Alternative Fuels Initiative. Kerja sama yang dijalin antara lain dengan Australia, Jerman, Brasil, dan juga Indonesia.
Nota kesepahaman
Sebagai gambaran, akhir pekan lalu, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia menjalin nota kesepahaman dengan FAA Department of Transportation United States of America.
Kerja sama antara lain mencakup pertukaran kemampuan, teknik, dan peranti teknologi. Selain itu, saling berbagi praktik terbaik di penerbangan dan perlindungan lingkungan, efisiensi dan konservasi energi, serta penelitian bahan bakar alternatif penerbangan dan energi terbarukan.
Pilar berikutnya adalah modernisasi pengelolaan lalu lintas udara dan peningkatan operasional. Pilar selanjutnya terkait kebijakan, standar lingkungan, dan pasar.
Tujuan mendasar nota kesepahaman adalah kolaborasi dalam menangani masalah dan kepentingan bersama terkait pengembangan dan penggunaan bahan bakar alternatif penerbangan.
Selain itu, fasilitasi inisiatif kerja sama, termasuk mendukung pertukaran antara Commercial Aviation Alternative Fuels Initiative (CAAFI) di AS dan Aviation Biofuels and Renewable Energy Task Force (ABRETF) di Indonesia.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo mengatakan, nota kesepahaman itu membuka jalinan kerja sama Indonesia-AS dalam bidang teknologi, pelatihan sumber daya manusia, serta berbagi informasi terkait efisiensi dan bahan bakar alternatif.
“Jadi supaya tidak harus selalu menggunakan bahan bakar fosil, tetapi juga bahan bakar yang berkelanjutan, seperti bahan bakar nabati. Ada kreasi lain untuk mengurangi emisi gas buang,” ujar Suprasetyo.
Sektor swasta
Hal lain adalah penguatan kemitraan sektor swasta, penelitian, dan pengembangan akademis. Kerja sama juga meliputi simposium, lokakarya, konferensi serta koordinasi partisipasi dalam forum multilateral semisal International Civil Aviation Organization (ICAO), Global Bioenergy Partnership (GBEP), dan International Green Aviation Conference (IGAC).
Berdasarkan data FAA Air Traffic Organization dan US Census Bureau, manfaat sosial dan ekonomi penerbangan antara lain menyumbang 5,4 persen terhadap produk domestik bruto AS. Manfaat lain adalah memberikan 11,8 juta tenaga kerja di AS serta menggerakkan aktivitas ekonomi senilai 1,5 triliun dollar AS per tahun.
Kompas 26102015 Hal. 19