JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan kemudahan bagi pengembang pembangkit listrik tenaga biomassa dan biogas. Kemudahan itu berupa kewajiban bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk membeli listrik dari pengembang dan menaikkan harga beli listrik biomassa dan biogas. Langkah itu bagian dari upaya pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan untuk listrik.Hal itu terungkap dalam sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa dan Biogas oleh PT PLN, Rabu (22/10), di Jakarta. Hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana, serta kalangan perbankan dan swasta.
Permen ESDM ini merevisi Permen Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik.
”Beda Permen ESDM No 27/2014 dengan Permen ESDM No 4/2012 adalah harga jual listrik dari tenaga biomassa dan biogas ke PLN lebih tinggi. Selain itu, pada permen yang baru diatur lebih rinci tentang prosedur pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa dan biogas. Pada Permen No 4/2012 tidak jelas pengaturannya,” ujar Rida.
Pada Permen ESDM No 4/2012, harga pembelian listrik tenaga biomassa dan biogas Rp 975 per kilowatt jam (kWh) jika terkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.325 per kWh jika terkoneksi pada tegangan rendah.
Pada Permen ESDM No 27/2014, harga pembelian listrik biomassa lebih tinggi, yakni Rp 1.150 per kWh, jika terkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.500 per kWh pada tegangan rendah. Untuk biogas, harga pembeliannya Rp 1.050 per kWh pada tegangan menengah dan Rp 1.400 per kWh pada jaringan tegangan rendah.
”Berdasarkan hitungan tim kami, harga pembelian listrik pada Permen ESDM No 27/2014 akan menguntungkan pengembang pembangkit biomassa dan biogas. Hitungan investasinya, untuk setiap 1 megawatt kapasitas pembangki, dibutuhkan sekitar 3 juta dollar AS,” kata Rida.
Menaikkan rasioJarman mengatakan, Permen itu diharapkan membantu menaikkan rasio elektrifikasi di Indonesia yang saat ini sekitar 80,5 persen. Pada 2020, rasio elektrifikasi di Indonesia ditargetkan bisa mendekati angka 100 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dibandingkan jumlah penduduk keseluruhan.
”Listrik tenaga biomassa dan biogas lebih hemat ketimbang menggunakan diesel. Ini cocok di daerah terpencil yang banyak menggunakan solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel sehingga ongkos subsidinya bisa ditekan,” kataJarman.
Menurut Jarman, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan angka pertumbuhan ekonomi, kebutuhan listrik di dalam negeri bisa lebih dari 6.000 megawatt per tahun. Pengembangan listrik biomassa dan biogas dapat membantu menambah pasokan kebutuhan listrik dalam negeri selain mengandalkan batubara dan minyak.
Potensi besarBerdasarkan data di Kementerian ESDM, potensi biomassa di Indonesia sekitar 32.654 megawatt. Dari jumlah itu, baru 1.716,5 megawatt yang dimanfaatkan untuk listrik. Energi biomassa didapat dari limbah kehutanan, pertanian, kelapa sawit, industri kertas, dan industri tapioka.
Rida memaparkan, di Indonesia ada sekitar 800 pabrik pengolahan sawit. Jika satu pabrik menghasilkan listrik 1 megawatt dari limbah sawit, secara keseluruhan akan dapat dihasilkan listrik 800 megawatt dari limbah sawit.
Saat ini, pemakaian energi baru terbarukan (EBT) sekitar 5 persen dari seluruh bauran energi dalam negeri. Porsi terbesar berasal dari minyak (49 persen), disusul batubara (24 persen) dan gas (22 persen). (APO)
kOMPAS 23102014 hAL. 18
Permen ESDM ini merevisi Permen Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik.
”Beda Permen ESDM No 27/2014 dengan Permen ESDM No 4/2012 adalah harga jual listrik dari tenaga biomassa dan biogas ke PLN lebih tinggi. Selain itu, pada permen yang baru diatur lebih rinci tentang prosedur pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa dan biogas. Pada Permen No 4/2012 tidak jelas pengaturannya,” ujar Rida.
Pada Permen ESDM No 4/2012, harga pembelian listrik tenaga biomassa dan biogas Rp 975 per kilowatt jam (kWh) jika terkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.325 per kWh jika terkoneksi pada tegangan rendah.
Pada Permen ESDM No 27/2014, harga pembelian listrik biomassa lebih tinggi, yakni Rp 1.150 per kWh, jika terkoneksi pada tegangan menengah dan Rp 1.500 per kWh pada tegangan rendah. Untuk biogas, harga pembeliannya Rp 1.050 per kWh pada tegangan menengah dan Rp 1.400 per kWh pada jaringan tegangan rendah.
”Berdasarkan hitungan tim kami, harga pembelian listrik pada Permen ESDM No 27/2014 akan menguntungkan pengembang pembangkit biomassa dan biogas. Hitungan investasinya, untuk setiap 1 megawatt kapasitas pembangki, dibutuhkan sekitar 3 juta dollar AS,” kata Rida.
Menaikkan rasioJarman mengatakan, Permen itu diharapkan membantu menaikkan rasio elektrifikasi di Indonesia yang saat ini sekitar 80,5 persen. Pada 2020, rasio elektrifikasi di Indonesia ditargetkan bisa mendekati angka 100 persen. Rasio elektrifikasi adalah perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dibandingkan jumlah penduduk keseluruhan.
”Listrik tenaga biomassa dan biogas lebih hemat ketimbang menggunakan diesel. Ini cocok di daerah terpencil yang banyak menggunakan solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel sehingga ongkos subsidinya bisa ditekan,” kataJarman.
Menurut Jarman, seiring bertambahnya jumlah penduduk dan angka pertumbuhan ekonomi, kebutuhan listrik di dalam negeri bisa lebih dari 6.000 megawatt per tahun. Pengembangan listrik biomassa dan biogas dapat membantu menambah pasokan kebutuhan listrik dalam negeri selain mengandalkan batubara dan minyak.
Potensi besarBerdasarkan data di Kementerian ESDM, potensi biomassa di Indonesia sekitar 32.654 megawatt. Dari jumlah itu, baru 1.716,5 megawatt yang dimanfaatkan untuk listrik. Energi biomassa didapat dari limbah kehutanan, pertanian, kelapa sawit, industri kertas, dan industri tapioka.
Rida memaparkan, di Indonesia ada sekitar 800 pabrik pengolahan sawit. Jika satu pabrik menghasilkan listrik 1 megawatt dari limbah sawit, secara keseluruhan akan dapat dihasilkan listrik 800 megawatt dari limbah sawit.
Saat ini, pemakaian energi baru terbarukan (EBT) sekitar 5 persen dari seluruh bauran energi dalam negeri. Porsi terbesar berasal dari minyak (49 persen), disusul batubara (24 persen) dan gas (22 persen). (APO)
kOMPAS 23102014 hAL. 18