JAKARTA, KOMPAS — Aliansi sembilan asosiasi mengeluhkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Mereka menilai pengubahan peraturan tersebut semakin menjauhkan semangat kemandirian industri dan penciptaan sebanyak mungkin lapangan kerja di dalam negeri.Sembilan asosiasi tersebut adalah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, dan Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia.
Selain itu, juga Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia, Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia, Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium, Gabungan Elektronika Indonesia, dan Asosiasi Industri Minuman Ringan.
”Peraturan Menteri Perdagangan No 70/2013 mewajibkan peritel mengedarkan 80 persen produk dalam negeri. Namun, tiba-tiba dalam 2-3 bulan kemudian ada pengubahan,” kata Ketua Asosiasi Pemilik Merek Indonesia Putri K Wardhani, Senin (13/10) petang, di Jakarta.
Sebagai gambaran, pada 17 September 2014 Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menetapkan Permendag Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pengubahan atas Permendag Nomor 70 Tahun 2013.
Baru berlaku 3 bulanAliansi sembilan asosiasi merasa heran ketika Permendag No 70/2013 yang masih berumur 3 bulan 5 hari tersebut—efektif berlaku per 12 Juni 2014—sudah direvisi dengan Permendag No 56/2014.
Padahal, lanjut Putri, proses lahirnya Permendag No 70/2013 berlangsung sejak tahun 2005. ”Bagaimana bisa peraturan yang dibahas dengan rangkaian diskusi panjang melibatkan banyak pihak bisa tiba-tiba diubah dalam waktu singkat,” katanya.
Oleh karena itu, aliansi sembilan asosiasi meminta pemerintah mengembalikan semangat Permendag No 70/2013 dan meningkatkannya menjadi peraturan presiden dan UU.
”Permendag No 70/2013 memiliki tujuan bagus, yakni agar pemilik merek asing terdorong untuk berproduksi di Indonesia,” kata Putri.
Pemilik merek asing dapat berproduksi di Indonesia dengan berinvestasi langsung ataupun bermitra dengan produsen
lokal. ”Ini bukan berarti mematikan importir. Regulasi semacam itu memberi peluang kepada principal untuk membangun usahanya di Indonesia,” kata Putri.
Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia Haniwar Syarif mengatakan, keinginan aliansi sembilan asosiasi tersebut juga bukan berarti pengusaha dalam negeri ingin membela kepentingan diri sendiri.
”Sebab, ketika investasi dari asing itu masuk, kami otomatis juga harus bersaing dengan mereka dalam menggarap pasar. Kami sebagai pengusaha dalam negeri siap bersaing karena itu sudah menjadi keniscayaan dalam berbisnis,” katanya.
Pengusaha yang tergabung dalam aliansi sembilan asosiasi melihat manfaat yang lebih besar ketika produsen asing membuka pabriknya di Indonesia dibandingkan jika produk impor yang diproduksi di luar negeri tersebut masuk ke Indonesia begitu saja.
Haniwar menuturkan, adanya investasi di dalam negeri akan memastikan terjadinya banyak serapan tenaga kerja. Perusahaan di dalam negeri juga akan terpacu saling berlomba agar efisien demi memenangi persaingan. (CAS)
Kompas 14102014 Hal. 17
Selain itu, juga Asosiasi Pemilik Merek Lokal Indonesia, Asosiasi Pemasok Garmen dan Aksesori Indonesia, Asosiasi Produsen Garam Konsumsi Beryodium, Gabungan Elektronika Indonesia, dan Asosiasi Industri Minuman Ringan.
”Peraturan Menteri Perdagangan No 70/2013 mewajibkan peritel mengedarkan 80 persen produk dalam negeri. Namun, tiba-tiba dalam 2-3 bulan kemudian ada pengubahan,” kata Ketua Asosiasi Pemilik Merek Indonesia Putri K Wardhani, Senin (13/10) petang, di Jakarta.
Sebagai gambaran, pada 17 September 2014 Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menetapkan Permendag Nomor 56 Tahun 2014 tentang Pengubahan atas Permendag Nomor 70 Tahun 2013.
Baru berlaku 3 bulanAliansi sembilan asosiasi merasa heran ketika Permendag No 70/2013 yang masih berumur 3 bulan 5 hari tersebut—efektif berlaku per 12 Juni 2014—sudah direvisi dengan Permendag No 56/2014.
Padahal, lanjut Putri, proses lahirnya Permendag No 70/2013 berlangsung sejak tahun 2005. ”Bagaimana bisa peraturan yang dibahas dengan rangkaian diskusi panjang melibatkan banyak pihak bisa tiba-tiba diubah dalam waktu singkat,” katanya.
Oleh karena itu, aliansi sembilan asosiasi meminta pemerintah mengembalikan semangat Permendag No 70/2013 dan meningkatkannya menjadi peraturan presiden dan UU.
”Permendag No 70/2013 memiliki tujuan bagus, yakni agar pemilik merek asing terdorong untuk berproduksi di Indonesia,” kata Putri.
Pemilik merek asing dapat berproduksi di Indonesia dengan berinvestasi langsung ataupun bermitra dengan produsen
lokal. ”Ini bukan berarti mematikan importir. Regulasi semacam itu memberi peluang kepada principal untuk membangun usahanya di Indonesia,” kata Putri.
Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia Haniwar Syarif mengatakan, keinginan aliansi sembilan asosiasi tersebut juga bukan berarti pengusaha dalam negeri ingin membela kepentingan diri sendiri.
”Sebab, ketika investasi dari asing itu masuk, kami otomatis juga harus bersaing dengan mereka dalam menggarap pasar. Kami sebagai pengusaha dalam negeri siap bersaing karena itu sudah menjadi keniscayaan dalam berbisnis,” katanya.
Pengusaha yang tergabung dalam aliansi sembilan asosiasi melihat manfaat yang lebih besar ketika produsen asing membuka pabriknya di Indonesia dibandingkan jika produk impor yang diproduksi di luar negeri tersebut masuk ke Indonesia begitu saja.
Haniwar menuturkan, adanya investasi di dalam negeri akan memastikan terjadinya banyak serapan tenaga kerja. Perusahaan di dalam negeri juga akan terpacu saling berlomba agar efisien demi memenangi persaingan. (CAS)
Kompas 14102014 Hal. 17