JAKARTA – Investor menunggu langkah cepat pemerintah untuk memperbaiki regulasi migas dan memberikan insentif menarik, sehingga target lifting minyak 900 ribu bph dan gas 1,24 juta boepd pada APBN 2015 tercapai serta ada penemuan cadangan terbukti baru. Produksi minyak Indonesia yang pernah mencapai puncak 1,65 juta bph tahun 1977 terus turun, namun investasi baru terkendala lemahnya kepastian hukum, rumitnya birokrasi dan perizinan, permasalahancost recovery , serta pajak dan pungutan yang membebani. Pada 2014, produksi minyak diperkirakan turun dari 825 ribu barel per hari (bph) tahun lalu menjadi 792 ribu bph. Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi tersebut di bawah target APBN Perubahan tahun ini sebesar 818 ribu bph. Kegiatan pemboran eksplorasi untuk mencari sumber-sumber minyak baru surut signifikan sejak 1999. Tak mengherankan, penemuan cadangan minyak terbukti baru menjadi sangat langka dan penurunan produksi makin tidak bisa dibendung. Cadangan terbukti minyak Indonesia saat ini hanya tinggal sekitar 4,03 miliar barel atau peringkat ke-27 dunia. Bila tidak ada penemuan baru, dalam 20 tahun ke depan, Indonesia akan mengimpor seluruh kebutuhan minyaknya. Tahun ini, imporBBMdanminyakmentah sudah sekitar 1 juta barel per hari, untuk mencukupi kebutuhankonsumsi 1,5 juta bph.
Demikian rangkuman keterangan Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Mi nyak dan Gas Bumi (SKKMigas) Gde Pradnyana, Wakil Ketua IPA Sammy Hamzah, Presiden Total E&P Asia Pasifik Jean-Marie Guillermou, dan Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara.
Gde Pradnyana mengatakan, ada tiga hal utama yang harus segera diperbaiki Pemerintah Indonesia guna menggaet investor migas besar. Yang pertama adalah memberikan ke pastian hukum dengan memperbaiki sejumlah aturan.
“Perusahan migas akan kesulitan ketika sudah meneken kontrak de ngan Pemerintah Indonesia kemudian muncul peraturan yang tidak sesuai dengan kontrak, yang dipaksakan un tuk berlaku. Hal ini membuat investor merasa tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Peraturan itu seperti masalah asas cabotage dan soal cost recovery (biaya investasi yang bisa dikembalikan),” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (30/9).
Kedua, pemerintah perlu mem perbaiki paket fiskal yang diberikan kepada investor migas. Pasalnya, biaya kegiatan eksplorasi dan produksi migas semakin mahal. Hal ini karena lapangan-lapanganmigas yang digarap banyak yang berlokasi di daerah ter pencil dan minim fasilitas, pemboran sumur sudah semakin dalam karena masuk tahap pengurasan tersier, dan cadangan migas banyak yang berada di laut dalam.
“Untuk menarik investor agar mau menggarap lapangan tersebut, perlu paket fiskal yang menarik. Tentu untuk bagi hasilnya yang tidak biasa, utamanya untuk laut dalam. Selain itu, ada keringanan pajak. Bea masuk serta pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan selama ini membuat investor sulit ‘bergerak’,” papar dia.
Ketiga, tutur Gde, harus ada per baikan birokrasi. Perizinan yang rumit ser ta gangguan nonteknis pada kegiatan produksi dan eksplor asi membuat kontraktor migas tidak leluasa bekerja. Padahal, ketika me neken kontrak, kontraktor memiliki komitmen seismik dan pemboran yang harus dijalankan. Jika masih ada ma salah perizinan dan gangguan, bukan tidak mungkin kontraktor tidak bisa memenuhi komitmennya.
Marwan Batubara mengatakan, selama ini, ketidakpastian badan usaha SKK Migas juga berdampak negatif terhadap kinerja dan iklim investasi di sektor migas nasional. Sembari menunggu terbitnya revisi Undang-Undang Migas, sebaiknya pemerintah mendatang menerbitkan peraturan pemerintah pengganti un dang-undang (perppu).
“Menurut Mahkamah Konstitusi, lembaga pengganti BP Migas diten tukan berdasarkan UU Migas yang baru. Sementara menunggu UU baru ditetapkan, untuk menjembataninya bisa menggunakan perppu,” kataMar wan kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (29/9).
Marwan menuturkan, salah satu penyebab rendahnya capaian lifting minyak nasional adalah persoalancost recovery . Hal ini terkait peningkatan produksi sumur migas yang sudah tua membutuhkan perlakuan khusus, yakni dengan Enhanced Oil Recovery (EOR). Teknik tersebut lebih mahal ketimbang pengembangan biasa, seh ingga berdampak pada meningkatnya angka cost recovery.
“Nah, pemerintah dan DPR seha rusnya berkomitmen dalam mening katkan lifting melalui EOR tersebut, sehingga besaran cost recovery tidak begitu saja dikurangi jumlah penga juannya,” ucap dia.
Jean-Marie Guillermou mengung kapkan, kontrak migas yang ditawar kan Indonesia saat ini cukup berat. Pasalnya, pemegang kontrak tersebut harus berhadapan dengan peraturan seperti Peraturan Pemerintah (PP) No 79 Tahun 2010 yang merupakan mimpi buruk bagi investor.
“Jika inginmenarik investor, Indone sia seharusnya menciptakan kondisi di mana investor punya kepercayaan diri untuk datang. Saat ini, menjadi inves tor di Indonesia sama dengan meng hadapi banyak masalah,” tandas dia.
Padahal, Indonesia butuh menarik investasi baru agar target lifting minyak 900 ribu bph dan gas 1,24 juta barel setara minyak per hari (boepd) tahun depan tercapai. Investasi untuk penemuan cadangan terbukti baru juga harus dilakukan, agar produksi migas tidak menurun.
“Kami sudah ada di sini selama 50 tahun, jadi kami tahu seperti apa. Tapi, bayangkan bagi pendatang baru. Mer eka tidak akan mau datang. Ini harus diubah dan saya yakin pemerintahan baru akan mengubahnya,” kata dia.
Salah satu penyebab lain minim nya investor besar datang, tambah Gde, adalah keberpihakan kepada perusahaan nasional dalam lelanglelang migas. Padahal, umumnya, perusahaan-perusahaan migas lokal ini kemampuan finansialnya terbatas.
“Hal ini kemudian membuat lah an-lahan migas tidak digarap atau dijual sahamnya ke pihak lain. Untuk itu, perlu ada perbaikan dalam proses seleksi kontraktor migas,” tandasnya.
Hambatan Asas Cabotage
Sedangkan Indonesian Petroleum Association (IPA) meminta pemerin tah mendatang untuk menyelesaikan sejumlah kendala yang dihadapi pelaku usaha di sektor minyak dan gas bumi (migas). Permasalahan yang sampai sekarang belum teratasi terkait pengenaan pajak bumi dan bangunan serta azas cabotage.
“Pemerintahan mendatang hendak nya jangan terburu-burumengeluarkan kebijakan di sektor migas yang malah memperparah keadaan. Lebih baik mempelajari dan mengakomodasi keinginan pelaku usaha selama ini. Itu sudah cukup sebagai insentif bagi kami,” kata Sammy Hamzah kepada Investor Dailydi Jakarta, Selasa (30/9).
Azas cabotage merupakan amanat dalam Undang-Undang Pelayaran, yang mewajibkan semua fasilitas ter apung di laut Indonesia berbendera Indonesia. Azas ini juga berlaku bagi kapal-kapal pengeboran minyak dan gas bumi lepas pantai.
“Pemberlakuan azas ini bakal meng ganggu kegiatan migas, lantaran rendahnya ketersediaan kapal seis mik, pengeboran, dan penggelaran pipa yang berbendera Indonesia,” tuturnya.
Menurut data SKK Migas, hanya terdapat tiga unit kapal pengeboran berbendera Indonesia. Padahal kebu tuhan kapal itu hingga 2015 mencapai 64 unit.
Dia juga meminta pemerintah men datang meninjau kembali kebijakan pengenaan PBB dalam kegiatan eksplorasi hulu migas. Pengenaan itu berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu.
Peraturan itu menyatakan, perusahaan-perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai, walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya. Peraturan ini mempersulit pengusa ha migas, lantaran kegiatan eksplorasi belum tentu berhasil. Jika berhasil pun, area yang dimanfaatkan hanya se bagian kecil dari wilayah tersebut. (en)
Investor Daily, Rabu 1 Oktober 2014, hal. 1