JAKARTA, KOMPAS Nilai tukar rupiah melemah lagi awal pekan ini hingga menyentuh Rp 12.120 per dollar AS, diduga akibat sentimen politik domestik Indonesia. Rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, turut mendorong pelemahan rupiah. Meski demikian, Bank Indonesia menilai, pelemahan kali ini bukan karena faktor fundamental.Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Senin (29/9), nilai tukar rupiah Rp 12.120 per dollar AS. Ini adalah posisi terlemah sejak 11 Februari 2014 yang sebesar Rp 12.174 per dollar AS.
Di pasar spot, kemarin, rupiah diperdagangkan pada kisaran Rp 12.023 hingga Rp 12.173 per dollar AS.
Dengan rupiah yang melemah itu, orang atau pelaku bisnis harus mengeluarkan rupiah lebih besar untuk mendapatkan dollar AS. Importir, misalnya, membutuhkan Rp 11,71 juta untuk mendapatkan 1.000 dollar AS pada 1 September 2014. Namun, kemarin, importir perlu Rp 12,12 juta untuk memperoleh 1.000 dollar AS.
Ekonom Standard Chartered Indonesia, Eric Alexander Sugandi, menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah masih dipengaruhi dua faktor dominan, yakni perkembangan politik domestik dan kondisi global.
”Investor menilai, pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak akan leluasa bekerja jika melihat perkembangan politik yang diawali pengesahan RUU Pilkada kemarin,” kata Eric.
Dengan perkembangan kondisi domestik semacam itu, Standard Chartered Indonesia memperkirakan rupiah bisa melemah lagi hingga akhir tahun.
Bukan fundamentalDirektur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Peter Jacobs mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah terjadi bukan karena faktor fundamental.
”Fundamental rupiah masih sama. Pelemahan nilai tukar rupiah terjadi karena sentimen domestik. Namun, BI tetap akan berada di pasar dan memantau perkembangan nilai tukar rupiah,” katanya.
Peter menambahkan, BI melakukan intervensi ke pasar secara terukur. ”BI memiliki sejumlah indikator untuk melihat
perkembangan nilai tukar rupiah di pasar. Ini termasuk pertimbangan apakah pasokan valuta asing (valas) ke pasar berkontribusi positif terhadap upaya stabilisasi nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Sebagai otoritas moneter, BI berharap situasi politik bisa secepatnya kondusif. Dengan demikian, investor tidak khawatir dan tetap menempatkan dananya di Indonesia.
Sebagaimana dilaporkan Reuters, indeks dollar AS mencatat kenaikan mingguan sepanjang 11 pekan secara beruntun. Periode penguatan ini yang terpanjang sejak tahun 1971. Indeks dollar AS adalah kinerja dollar AS terhadap sejumlah mata uang.
Departemen Perdagangan AS pada akhir pekan lalu juga merevisi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS pada triwulan II-2014 menjadi lebih tinggi, dari 4,2 persen menjadi 4,6 persen. Kenaikan pertumbuhan PDB itu ditopang kinerja ekspor dan investasi bisnis. Akibatnya, muncul spekulasi percepatan kenaikan tingkat suku bunga Fed Rate.
Lebih tajamEkonom Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, menyatakan, secara bulanan, pada negara berkembang dengan masalah inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan, dan defisit fiskal atau ketidakstabilan politik, nilai tukarnya melemah lebih tajam daripada negara lain. Rupiah melemah 4,1 persen secara bulanan bersama mata uang Brasil, Rusia, Afrika Selatan, dan Turki.
Menurut Rangga, kebijakan jangka pendek harus diikuti kebijakan yang menyentuh masalah fundamental. Mayoritas negara, bahkan termasuk yang sehat, tidak bisa mengelak dari gejolak pasar keuangan global, dalam hal ini penguatan dollar AS.
Dalam jangka pendek, selain intervensi, pemerintah dan BI juga bisa memperketat aliran dana asing melalui peraturan untuk mencegah aksi spekulasi. Kesepakatan barter valas dengan bank sentral negara lain pun bisa dilakukan untuk mempertebal cadangan devisa dan menjaga kepercayaan investor. Masalah fundamental diatasi, antara lain, melalui stabilisasi impor untuk menyaingi perlambatan pertumbuhan ekspor. (BEN/AHA)
Kompas 30092014 Hal. 17