JAKARTA, KOMPAS — Untuk menghindari antrean di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum terkait dengan kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi, Pertamina diharapkan memperbaiki mekanisme penyalurannya.
Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng, Senin (25/8), di Jakarta, seusai rapat kerja antara Komisi VII DPR dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menuturkan, dengan pola penyaluran BBM bersubsidi yang dilakukan Pertamina, antrean tak terelakkan karena warga berebut sampai lebih dahulu di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) dan membeli sebanyak-banyaknya BBM bersubsidi.
Idealnya, kata Andy, strategi itu diubah supaya semua orang bisa menikmati BBM bersubsidi. Pengendalian dilakukan pada orang per orang, bukan pada outlet. Misalnya, setiap SPBU merinci berapa konsumen sepeda motor, mobil, atau truk setiap hari. ”Kepada para konsumennya itu pembelian dibatasi. Tidak boleh siapa cepat dia dapat. Pembelian BBM bersubsidi mereka dibatasi supaya bisa dirasakan semua orang,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa bahan bakar minyak bersubsidi merupakan milik 250 juta warga. ”Barang milik publik atau milik bersama itu harus sampai akhir Desember 2014, sesuai dengan amanat APBN Perubahan 2014,” ujar Andy.
Dengan mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti saat ini, Andy mengkhawatirkan ada kemungkinan penimbunan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Pasalnya, orang bisa membeli BBM bersubsidi sebanyak-banyaknya asalkan mereka berkesempatan mengantre di SPBU.
”Kalau orang beli BBM bersubsidi berapa pun dilayani, akhirnya yang terjadi adalah kepanikan atau memborong seperti sekarang,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner) Pri Agung Rakhmanto menyampaikan, dengan jumlah kuota yang berkurang menjadi 46 juta kiloliter, mau tidak mau Pertamina menempuh solusi pembatasan. Pembatasan distribusi dilakukan agar jumlah kuota tetap mencukupi hingga akhir tahun.
Di tempat terpisah, Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina Hanung Budya mengatakan, kebijakan pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi itu akan dilakukan hingga akhir tahun 2014.
”Kami hanya ingin memastikan bahwa kuota 46 juta kiloliter BBM bersubsidi itu cukup sampai akhir tahun ini. Setelah itu, bergantung pada adanya kebijakan baru,” tuturnya.
Mengenai antrean warga di sejumlah daerah, khususnya di wilayah pantai utara Pulau Jawa, Hanung menyebut hal itu sebagai kepanikan pembelian. Itu merupakan konsekuensi dari pengendalian BBM bersubsidi yang dilakukan Pertamina, bukan karena kelangkaan BBM.
”Tidak ada kelangkaan BBM. Stok BBM bersubsidi di Pertamina masih ada hingga 18 hari kebutuhan nasional. Namun, ini bukan soal stok, melainkan karena informasi yang keliru sehingga terjadi kepanikan warga,” kata Hanung.
Antrean yang terjadi di sejumlah daerah itu dipastikan tidak akan mengubah kebijakan Pertamina dalam mengendalikan BBM bersubsidi.
”Kalau konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota 46 juta kiloliter seperti yang ditetapkan pemerintah, kelebihannya itu tidak akan dibayar oleh negara,” ujarnya.
Pengendalian itu dilakukan di semua daerah di Indonesia. Pasokan premium di setiap SPBU di Tanah Air dikurangi rata-rata 5 persen, sedangkan untuk solar dikurangi 10-15 persen.
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menambahkan, antrean yang terjadi di pantai utara juga diakibatkan penggunaan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah lain. Tidak hanya orang asli Cirebon dan Indramayu yang mengonsumsi BBM bersubsidi di wilayah itu, tetapi juga warga dari Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang tengah melintasi jalur tersibuk di Pulau Jawa tersebut.
Langka
Pembatasan kuota bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah melalui BPH Migas juga menyebabkan terbatasnya solar di Sorong, Papua Barat. Akibatnya terjadi antrean panjang kendaraan roda dua dan roda empat di sejumlah SPBU di wilayah tersebut selama sebulan terakhir.
Di Padang, Sumatera Barat, antrean panjang kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, terjadi hampir di semua SPBU. Tidak hanya warga yang memiliki kendaraan, warga yang menjual premium eceran juga sudah menunggu sejak pagi hingga siang.
Stok solar di SPBU di Malang, Jawa Timur, kosong. Pihak SPBU mengatakan, pasokan berikutnya baru tiba Selasa atau Rabu besok. Akibatnya, pemilik kendaraan bermesin diesel harus mengantre di SPBU yang masih memiliki solar.
Kesulitan mendapatkan BBM masih terjadi di wilayah Tegal, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Antrean untuk mendapatkan BBM terjadi di sejumlah SPBU di wilayah Tegal, Kabupaten Tegal, dan Brebes. Bahkan, untuk mendapatkan BBM nonsubsidi, seperti pertamax, pun masyarakat harus mengantre, seperti terlihat di SPBU Tegalsari, Kota Tegal.
Setelah pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi, terutama jenis solar, SPBU di pantai utara, terutama di Kota Semarang, Jawa Tengah, beroperasi lebih singkat. Hal itu disebabkan berkurangnya kuota pengiriman BBM bersubsidi jenis premium dan solar per hari.
Pertamina memangkas kuota solar bersubsidi untuk kebutuhan kapal-kapal di Batam, Kepulauan Riau. Pegawai Bagian Penjualan Pertamina Khusus Pelabuhan, Saiful Arif Budiman, mengatakan, alokasi solar untuk SPBU Laut Sekupang dikurangi 50.000 liter.
Sejumlah SPBU di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpaksa menghentikan layanan penjualan BBM karena kehabisan stok BBM bersubsidi. Selain karena volume BBM yang diterima berkurang, habisnya stok BBM bersubsidi juga terjadi karena pengiriman BBM bersubsidi dari Pertamina tidak lancar.
Berbeda dengan kondisi di SPBU di wilayah pantai utara Jawa yang terjadi antrean panjang kendaraan, di Kota Solo dan sekitarnya di Jawa Tengah tak terjadi antrean kendaraan. Aktivitas pengisian bahan bakar oleh warga berjalan normal.
Kompas 26082014 Hal. 1