JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan Indonesia terhadap kapal impor hingga saat ini masih tinggi. Pemerintah harus memberikan dukungan kebijakan, terutama fiskal, agar industri galangan kapal dalam negeri mampu menggarap besarnya potensi kebutuhan kapal di Indonesia.
”Tanpa dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, Indonesia hanya akan menjadi pasar,” kata Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy K Logam di Jakarta, Rabu (13/8).
Menurut Eddy, pelaksanaan asas kabotase yang merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 merupakan langkah awal positif dalam mendorong peningkatan populasi kapal berbendera Indonesia.
Merujuk data Kementerian Perhubungan, populasi kapal niaga nasional saat ini mencapai 13.224 unit atau tumbuh 119 persen dibandingkan dengan Maret 2005 yang sebanyak 6.041 unit.
Nilai investasi pelayaran untuk pengadaan kapal diperkirakan mencapai 18,2 miliar dollar AS atau setara Rp 202 triliun. ”Industri galangan kapal dalam negeri baru menikmati kurang dari 10 persen jumlah tersebut. Sebagian besar penambahan kapal berasal dari impor,” kata Eddy.
Iperindo meminta pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memberikan dukungan agar industri galangan kapal dalam negeri semakin berdaya saing. Dukungan tersebut terutama berupa pembebasan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) komponen kapal.
Selama ini bea masuk sebesar 5-12,5 persen dan PPN 10 persen atas komponen kapal membebani struktur biaya produksi kapal galangan dalam negeri sehingga harga jualnya lebih tinggi dibandingkan kapal impor.
Indonesia posisi ketiga
Sebagai perbandingan, kata Eddy, industri galangan kapal di negara lain tidak terbebani cukai dan PPN komponen kapal. Industri galangan kapal Indonesia saat ini berada di posisi ke-
tiga setelah Malaysia dan Vietnam.
Jenis kapal yang diproduksi Malaysia, Vietnam, dan Indonesia, misalnya, tanker, kapal tunda, tongkang, kargo, dan kapal penunjang kegiatan terkait minyak dan gas. Harga kapal produksi Malaysia dan Vietnam saat ini lebih murah 5-11 persen dibandingkan kapal produksi galangan kapal Indonesia.
Sementara itu, Singapura memiliki kekuatan dalam pengadaan kapal berteknologi tinggi. ”Namun, untuk memproduksi kapal tunda, misalnya, lebih murah di Indonesia,” kata Eddy.
Saat ini tingkat utilisasi industri galangan kapal dalam negeri sekitar 60 persen dari kapasitas nasional terpasang pembangunan kapal baru yang mencapai 900.000 dead weight tonnage (DWT).
”Apabila bea masuk dan PPN komponen kapal dihapus, dalam dua tahun kapasitas nasional terpasang dapat dioptimalkan hingga 100 persen. Dalam kurun waktu tersebut, industri galangan kapal Indonesia akan mampu melewati Vietnam dan Malaysia,” kata Eddy.
Penerapan asas kabotase
Tingkat utilisasi pemeliharaan atau reparasi kapal saat ini sudah memenuhi kapasitas nasional terpasang yang sebesar 12 juta DWT per tahun.
Menurut Eddy, optimalnya kapasitas nasional terpasang untuk pemeliharaan atau reparasi kapal tersebut merupakan dampak positif penerapan asas kabotase.
Iperindo juga meyakini, pertumbuhan industri galangan di dalam negeri akan mendorong pula tumbuhnya industri komponen kapal di Indonesia.
Sementara itu, Direktur PT Logindo Samudramakmur Tbk Rudy Kusworo mengatakan, dukungan perbankan akan ikut mendorong pertumbuhan industri perkapalan. Pertumbuhan industri kapal di Tiongkok, misalnya, didorong pula oleh suku bunga yang relatif ringan sebesar 6-8 persen.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengatakan, Indonesia berpotensi untuk terus mengembangkan industri maritim.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, ada 250 perusahaan galangan kapal di Tanah Air yang mampu membangun dan mereparasi kapal. Selain mampu membangun kapal berbagai jenis dengan ukuran hingga 50.000 DWT, galangan kapal dalam negeri juga mampu memperbaiki kapal dengan ukuran hingga 150.000 DWT. (CAS)
Kompas 14082014 Hal. 19