JAKARTA, KOMPAS — Tarif vaksinasi gotong royong dikeluhkan terlalu tinggi oleh industri kecil-menengah serta usaha yang masih terdampak Covid-19. Bagi industri kecil-menengah yang tidak mampu membeli vaksin ini tetap ada opsi untuk menunggu program vaksinasi pemerintah yang sifatnya gratis.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengatakan, vaksinasi gotong royong bersifat sukarela. Bagi perusahaan yang ingin berpartisipasi membayarkan vaksin karyawannya, dipersilakan untuk membeli vaksin sesuai harga yang ditetapkan sebesar Rp 879.140.
Rinciannya, harga pembelian vaksin Rp 321.660 per dosis dan tarif maksimal pelayanan vaksinasi Rp 117.910 per dosis. Harga ini sudah termasuk margin keuntungan pembelian vaksin 20 persen dan margin keuntungan pelayanan vaksinasi 15 persen, tetapi belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan.
”Bagi usaha kecil menengah, kami berikan dua opsi, apakah dia ingin berkontribusi lewat vaksinasi gotong royong atau mengikuti vaksin pemerintah secara gratis. Jadi, kami tidak pernah meminta dan memaksa UMKM untuk berbayar,” kata Erick dalam konferensi pers Sosialisasi Sentra Vaksinasi Gotong Royong di Jakarta, Rabu (19/5/2021).
Sebelumnya, kondisi industri yang belum pulih merata dan keterbatasan pasokan vaksin Covid-19 membuat tidak semua badan usaha bisa mengakses program vaksinasi gotong royong. Sejumlah industri yang tidak mampu meminta agar harga vaksin gotong royong dapat dievaluasi atau diberi keringanan.
Baca juga: Tergantung Kemampuan, Tidak Semua Bisa Ikut Vaksinasi Gotong Royong
Dewan Pakar Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita, misalnya, meminta agar pemerintah dapat menyubsidi beberapa komponen harga dan tidak perlu menetapkan keuntungan 20 persen.
Pengusaha juga meminta agar ada pemberian bantuan pinjaman kepada perusahaan yang tidak mampu, vaksin gratis bagi sektor garda depan, dan penggunaan skema BPJS Ketenagakerjaan untuk meringankan biaya penyuntikan (Kompas, 19/5/2021).
Transparansi
Di sisi lain, pemerintah juga diminta untuk transparan dalam penetapan harga vaksinasi, termasuk soal besaran margin keuntungan yang diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan.
Saat dimintai penjelasan detail mengenai penetapan harga vaksin dan margin keuntungan itu, Erick menegaskan bahwa pemerintah tidak ada niat mengomersialkan vaksin gotong royong. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci hitung-hitungan yang mendasari penetapan harga itu.
Baca juga: Penetapan Biaya Vaksin Gotong Royong agar Transparan
Erick juga tidak menjelaskan alasan di balik penetapan margin keuntungan dan peruntukannya. ”Konteksnya jangan dilihat seakan-akan pemerintah ini hendak mencari margin. Pemerintah sudah mengeluarkan Rp 77 triliun untuk pengadaan vaksin gratis dan itu salah satu yang terbesar di dunia,” kata Erick.
Ia mengatakan, penetapan harga vaksin dilakukan bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Di situ jelas, ada harga jual yang terdiri dari harga pembelian dan harga distribusi. Jadi, kami sangat transparan. Sejak awal Covid-19 juga BUMN sudah melakukan public service secara konsisten,” kata Erick.
Gratis
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, pada prinsipnya semua program vaksinasi bersifat gratis. Oleh karena itu, perusahaan dilarang melakukan komersialisasi vaksin dan memungut biaya dari pekerjanya. Perusahaan harus membeli vaksin dan memberikannya kepada karyawan secara gratis.
”Itu permintaan pemerintah sejak awal yang kami sanggupi. Jadi, nanti tidak boleh ada perusahaan yang potong gaji atau THR karyawan untuk bayar biaya vaksinnya,” kata Rosan.
Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa semua perusahaan akan menggratiskan vaksin. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, meski mayoritas perusahaan menanggung biaya vaksinasi, ada sebagian kecil yang membeli vaksin dengan berbagi biaya dengan pekerja (cost sharing).
Baca juga: Mencegah Bisnis Vaksin Covid-19
”Itu kecil sekali, tetapi kemungkinannya tetap ada. Misalnya, ada karyawan yang menitip untuk vaksin keluarganya, tetapi perusahaan tidak mau tanggung karena tidak ada hubungan kerja, maka di situ ada cost sharing,” kata Hariyadi.
Kemungkinan lainnya adalah pekerja di koperasi yang mengikuti vaksinasi gotong royong. ”Kalau di koperasi, kan, sistemnya patungan, semua punya saham. Jadi, bisa saja ada pungutan, tetapi semua itu tetap sesuai kesepakatan di internal dan jumlahnya pasti kecil,” katanya.
Meski demikian, larangan memungut biaya vaksin dari pekerja itu tidak disertai dengan aturan sanksi. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Johnny Darmawan, perusahaan memang dilarang memungut biaya dari pekerja, tetapi sejauh ini belum ada sanksi yang mengatur jika ada yang melanggar.
”Kalau ditanya sanksinya apa, kami tidak tahu, itu ranah pemerintah karena sudah diatur lewat peraturan menteri kesehatan bahwa sifatnya harus gratis,” kata Johnny.
KOMPAS: Kamis, 20052021 Halaman 1.